Menolak Hukuman Mati
Oleh Frans Anggal
Ada peristiwa penting di bidang hukum dan keadilan di Flores ketika umat Katolik sedang mengarungi masa Puasa jelang Paska 2010. Peristiwa itu: vonis bagi dua terdakwa otak pembunuhan Romo Faustin Sega Pr. Dan, reaksi umat Katolik di Flores terhadap vonis tersebut.
Dalam sidang pembacaan putusan di PN Bajawa, Kamis 25 Maret 2010, majelis hakim menjatuhkan vonis penjara seumur hidup bagi Theresia Tawa dan Anus Waja. Putusan majelis hakim sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum (Flores Pos Jumat 26 Maret 2010).
Tuntutan jaksa dan putusan hakim lebih rendah daripada harapan bahkan desakan umat. Di awal kasus ini mulai disidangkan, desakan akan tuntutan dan vonis mati sangat kuat. Melalui media, beberapa kali keluarga Romo Faustin menyampaikannya. Namun kemudian, secara perlahan, semua harapan itu mereka letakkan di atas nilai yang semestinya mereka anut. Sebagai orang Katolik, mereka akhirnya paham, sadar, dan menerima ajakan Gereja.
Gereja Katolik Keuskupan Agung Ende, dengan berbagai cara melalui perangkat pastoralnya, mengajak semua orang menghormati kehidupan dengan menjaga, memelihara, dan merawatnya. Gereja mempromosikan budaya pengampunan dan rekonsiliasi. Dengan demikian, segala bentuk pengingkaran terhadapnya mesti ditolak, dari aborsi dan eutanasia hingga hukuman mati.
Ajakan ini tidak sia-sia. Buahnya kelihatan saat vonis bagi Theresia Tawa dan Anus Waja dibacakan. Hadir, ribuan umat. Namun, suasananya teduh. Saat vonis dibacakan, umat menerimanya dengan baik. Penjara seumur hidup, itulah yang tepat. Bukan hukuman mati. Reaksi pihak keluarga pun sangat positif.
Menurut kuasa hukum keluarga, Petrus Salestinus, dilihat dari pertimbangannya, ada kecenderungan hakim jatuhkan hukuman mati. Namun, karena Gereja menolak hukuman mati, penjara seumur hiduplah yang paling tepat. ”Putusan ini mencerminkan rasa keadilan masyarakat Katolik di Flores,” katanya. Kuasa hukum lain, Meridian Dewanta Dado, menilai putusan ini hasil maksimal. Juga, punya banyak nilai. Di antaranya, Flores jadi rujukan menolak hukuman mati.
Bagi Gereja Katolik Keuskupan Agung Ende, buahnya bukan hanya itu. Vonis ini adalah juga pemastian bahwa Romo Faustin mati karena dibunuh. Jadi, bukan mati wajar sebagaimana diseting oleh pihak tertentu. ”Karena itulah, Gereja Keuskupan Agung Ende berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Adil,” kata Ketua JPIC Romo Rony Neto Wuli Pr. ”Tuhan telah menunjukkan jalan di atas garis-garis manusia yang bengkok.”
Dalam terang Paska, ke arah mana Puasa umat kristiani bermuara, apa yang terjadi itu adalah kebangkitan. Sesuatu yang nyata, kini, dan di sini. ”Kebangkitan adalah suatu mukjizat yang terjadi sekarang ...,” tulis H.A. Williams, ”ditemukan persis di dalam hal-hal yang biasa dan pekerjaan-pekerjaan rutin sehari-hari dalam hidup kita.”
Hubert J. Richards (1989) mengkonkretkannya. ”Setiap kali saya menerima pengampunan dari orang lain, atau menyadari orang lain diampuni, saya mengetahui hidup telah mengatasi kematian. Setiap kali saya melihat tembok penghalang runtuh sehingga kebenaran dapat timbul, betapapun menyakitkan, saya melihat hidup menang atas kematian. Setiap kali saya menyaksikan ketakadilan dipatahkan, atau belaskasihan ditumbuhkan, atau harapan lahir di dalam dunia yang sulit untuk berharap, saya sedang menyaksikan kebangkitan.”
Dalam terang ini pula kita diajak melihat vonis bagi Theresia Tawa dan Anus Waja. Ketika penjara seumur hidup yang dijatuhkan bagi keduanya dan bukan hukuman mati, kita sedang menyaksikan kebangkitan. Ketika vonis itu diterima dengan begitu baiknya oleh keluarga Romo Faustin dan umat Katolik, kita pun sedang menyaksikan kebangkitan. Kebangkitan di Flores. Ya, Flores yang bangkit. Flores yang ber-Paska. Profisiat!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 31 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar