Ketika "Honor" Berati Kehormatan
Oleh Frans Anggal
Kelompok Bermain Anak Sekosodo, disingkat Kober Sekosodo, di Desa Watukamba, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, siap diresmikan tahun 2010. Gedungnya sudah dibangun, gunakan dana PNPM-MP tahun anggran 2009 senilai Rp167 juta (Flores Pos Rabu 17 Maret 1010).
Kober Sekosodo didirikan 2004. Tujuannya, membantu orang miskin yang tidak mampu ’sekolahkan’ anak di TK. Yang diterima di kober, anak usia 2-6 tahun. Kober bebas biaya, kecuali uang komite Rp10 ribu per bulan. Praktis di sana, kober antuk anak petani, TK untuk anak pegawai.
Kober Sekosodo ditangani seorang pengelola, seorang pengasuh, dan tiga tenaga pendidik. Honornya? Tenaga pendidik Rp40 ribu per bulan. Terimanya sekali setahun. Berarti, setelah bekerja setahun, seorang tenaga pendidik terima honor Rp480 ribu. Jauh di bawah UMR. Bahkan, honor setahun itu cuma setengah dari UMR sebulan.
Yuliana Bina, Magdalena Mboru, Ernesta Ga’a. Itulah tiga tenaga pendidik Kober Sekosodo. Dengan honor rendah, sesungguhnya mereka sedang kerja bakti. Tidak semua orang mampu dan mau seperti ini. Bagi sementara orang, honor sebegitu bisa bikin geli. ”Honor” sama dengan ”humor”. Bagi sebagian yang lain, honor sebegitu bisa bikin kecut. ”Honor” sama dengan ”horror”.
Lalu, bagi Yuliana Bina, Magdalene Mboru, dan Ernesta Ga’a sendiri? ”Inilah kondisi kami ...,” kata Yuliana. Ada pemahaman dan keberterimaan terhadap realitas di sana. Bagaimana mungkin terima honor besar, mereka ’hanya’ tenaga pendidik bagi anak-anak petani di sebuah ’sekolah’ gratis. Mereka tidak mungkin bertahan kalau hanya karena upah. Ada sesuatu yang luhur di sana. Panggilan mencerdasakan anak-anak bangsa. Anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Dalam konteks ini, bagi Yuliana Bina, Magdalene Mboru, dan Ernesta Ga’a, honor tadi sungguh-sungguh merupakan ”honor” dalam maknanya yang autentik, yang dalam bahasa Inggris berarti ”kehormatan”. Jadi, bukan ”humor” seperti bagi sementara orang, karena olehnya mereka tidak merasa geli. Bukan pula ”horror” seperti bagi sebagian yang lain, karena olehnya mereka tidak merasa kecut. Honor di sini betul-betul kehormatan. Sebagai nilai, bukan sebagai harga.
Dengan kehormatan itulah, mereka telah dan sedang mencerdaskan anak-anak bangsa. Artinya, mereka telah dan sedang melaksanakan tugas yang secara tersurat-konstitusional merupakan kewajiban pemerintah. Tugas pencerdasan itu mereka tunaikan di pinggiran. Artinya, di lokasi yang tidak hanya jauh dari pusat kekuasaan politik, ekonomi, dan pendidikan, tapi juga berpeluang luput dari perhatian penguasa.
Kalau mereka mengharapkan sesuatu dari pemerintah, bukankah merupakan kehormatan juga bila harapan itu ditanggapi pemerintah? ”Kami minta, kalau bisa, pemerintah memperhatikan kesejahteraan kami. Kalaupun belum bisa naikkan kesejahtaraan, kami minta honor bisa diterima tiga bulan sekali. Jangan sampai satu tahun,” kata Yuliana. ”Dan, kami juga minta status kami dari tenaga honor bisa diangkat menjadi tenaga tetap.”
Permintaan yang wajar. Permintaan menjelang Kober Sekosodo diresmikan. ”Rencananya, kalau tidak bupati, wakil bupati yang meresmikan,” kata Kades Watukama Pius Sai. Mudah-mudahan, Bupati Don Wangge dan Wabup Achmad Mochdar tergerak hatinya untuk berikan kehormatan, tidak hanya kepada Kober Sekosodo, tapi juga kepada tiga tenaga pendidiknya.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 18 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar