Kasus Proyek Jalan di Desa
Oleh Frans Anggal
Banyak jalan tani tahun 2009 di Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende, bermasalah. Pengerjaannya tidak sesuai dengen bestek. Namun, dalam laporan kepada DPRD, dinas pertanian selaku pemilik proyek menyebutkan realisasi fisik dan dananya seratus persen. Bermasalahnya proyek jalan itu tersingkap berkat pengaduan warga ke DPRD. Dan, diperjelas melalui kunjungan DPRD ke lokasi proyek (Flores Pos Kamis 25 Maret 2010).
Di Desa Welamosa, misalnya, pengerjaan jalan tidak sesuai dengan volume. Tidak sampai 1 km. Selain belum selesai, pengerjaannya lompat-lompat. Di Desa Mautenda Barat, pengerjaan yang seharusnya 1 km hanya dibikin 508 meter. Lebar yang seharusnya 2 meter dibuat 3 meter. Teknik pengerjaannya pun asal-asalan.Tanpa pengerasan. Maka, pasir terhanyut saat hujan. Bebatuan jalan mencuat. Proyek ini pun tanpa papan nama. Tidak sepengetahuan pemdes. Dan tidak melibatkan warga setempat.
Dengan hasil pengerjaan seperti ini, bagaimana bisa dinas pertanian melaporkan realisasinya seratus persen? Kemungkinan pertama, pihak dinas tidak lakukan pengecekan lapangan. Percaya saja pada penyampaian kontraktor. Sistem pengawasannya administratif melulu. Inilah birokrasi dalam artian jelek. Yakni, dunia otonom berupa ’kertas-kertas bergerak’, istilah sosiolog Peter L. Berger.
Kemungkinan kedua, pihak dinas lakukan pengecekan lapangan, tapi tanpa kompetensi. Dalam sistem birokrasi, kompetensi berarti pengetahuan mahir yang sesuai dengan ruang lingkup tertentu dan hanya atas ruang lingkup tertentu itu. Dalam kaitan dengan proyek jalan, petugas dinas empunya proyek minimal memahami bestek, serta mampu mengidentifikasi kesesuaian dan ketidaksesuaian antara berstek dan pengerjaan proyek. Tanpa kompetensi minimal ini, petugas dinas mudah terkibul atau dikibuli.
Kemungkinan ketiga, pihak dinas lakukan pengecekan lapangan, dengan kompetensi, namun tanpa etika. Dalam pengecekan itu, dinas temukan masalah, akan tetapi tidak dipermasalahkan, karena sudah ’diselesaikan tanpa masalah’. Karena sudah ’diselesikan’ itulah maka kepada DPRD, dinas menyampaikan laporan fiktif: semuanya beres. Realisasi fisik dan dana proyek seratus persen.
Apa perbedaan antara ketiga kemungkinan itu? Pada yang pertama, yang terjadi adalah ”kelalaian”. Pada yang kedua, yang terjadi adalah ”kebodohan”. Pada yang ketiga, yang terjadi adalah ”kejahatan”. Kita belum memiliki cukup bahan untuk memastikan pada kategori mana sebab-musabab masalah proyek ini dapat dimasukkan. Bisa pada salah satu kategori. Bisa pula pada gabungannya. Ini yang perlu diselidiki.
Apa pun kategorinya, tetap saja kontraktor dan dinas pertanian yang bersalah. Dua-duanya harus bertanggung jawab. Kendati demikian, anak timbangan bagi dinas pertanian lebih berat. Sebab, dinas ini bagian dari pemerintah, bahkan pemerintah itu sendiri. Pemerintah adalah pembuat aturan (regulator). Bagaimana bisa, pembuat aturan melanggar sendiri aturan yang dibuatnya. Bobot kesalahannya harus lebih besar.
Dalam konteks Kabupaten Ende, di bawah Bupati Don Wangge dan Wabup Ahmad Mochdar, pembobotan kesalahan dinas pertanian selaku SKPD sangatlah penting. Sebab, persoalan ini menukik dan menghujam langsung ke jantung birokrasi pemkab.
Reformasi birokrasi merupakan gong yang ditabuh Wangge-Mochdar saat keduanya dilantik April 2009. Hasilnya? Setelah reformasi itu berjalan, ternyata mentalitas lama birokrat masih terwariskan. Kalau banyak yang masih seperti ini, quo vadis birokrasi Ende? ’Ke manakah engkau melangkah’?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 26 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar