Tambang Mangan di Hutan Lindung
Oleh Frans Anggal
Forum Cendekiawan Asal Manggarai (Forcam) di Kabupaten Sikka PN Ruteng menindaklanjuti gugatan perwakilan (class action) yang diajukan korban penambangan mangan PT Sumber Jaya Asia (SJA) di kawasan hutan lindung Soga, RTK 103, Reok. Forcam mendesak penambangan dihentikan karena telah timbulkan dampak negatif yang massif (Flores Pos Selasa 23 Maret 2010).
Desakan Forcam sejalan dengan tuntutan para korban. Yaitu: eksploitasi mangan harus dihentikan, karena telah merusak lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat. Sebelumnya, para korban mengajukan gugatan perdata class action. Menurut rencana, kasus ini disidangkan Kamis 25 Maret. Karena itu, dari segi momentum, desakan Forcam tepat.
Yang diharapkan, PN Ruteng memutuskan perkara ini secara tepat. Pelanggaran hukumnya jelas. PT SJA menambang secara ilegal sejak 2007 karena tidak mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Akibat dari pelanggaran hukum ini pun jelas. Ribuan pohon dalam areal 44 ha hancur. Laut, darat, dan udara tercemar. Sumber air mengering. Maka, bukan hanya lingkungan, kehidupan masyarakat pun dirusakkan.
Bahwa Polres Manggarai diam saja terhadap tindakan pidana telanjang ini, itulah yang mencengangkan. Bahwa Polres Manggarai tetap bungkam meski sudah dilapori korban, itulah yang mengecewakan. Namun para korban tidak putus asa. Mereka tetap berjuang. Mereka miliki harapan. Karena, di Manggarai, dalam kasus ini, masih ada lembaga negara yang masih bisa dipercaya. PN Ruteng.
Apa jadinya kalau lembaga ini pun mengecewakan? Kita tidak tahu, para korban harus ke mana lagi. Apalagi hari gini, siapa peduli? Manggarai lagi sibuk dengan persiapan pesta besar. Pemilukada dan tahbisan uskup. Yang peduli, paling-paling kalangan terbatas, dari JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC SVD Ruteng, OFM Indonesia, Almadi NTT, plus Forcam sabagai salah satu paguyuban cendekiawan Manggarai diaspora.
DPRD? Baru berencana turun ke lokasi untuk mengkroscek data dan fakta yang disampaikan masyarakat. Bupati dan wabup? Masih tunggu kasasi setelah kalah banding melawan kuasa pertambangan. Semuanya sedang berproses. Artinya, penambangan berlangsung terus. Perusakan lingkungan jalan terus. Masyarakat lingkar tambang menderita terus.
Dengan keadaan seperti itu, kalau dilihat dari luar, Manggarai seperti tidak punya hukum dan tata aturan. Padahal, semua lembaga negara yang dibutuhkan untuk itu ada, lengkap. Kalau begitu, apa yang tidak beres? Pemfungsiannya. Semua lembaga tersebut berfungsi, tapi dangkal (banal). Inilah banalitas lembaga negara. Pada tingkat gawat, banalitas tidak hanya berupa peremehan terhadap hal yang penting, tapi juga pembiaran terhadap hal yang buruk.
Tentang banalitas, filosof Hannah Arendt mengambil contoh dari sejarah gelap negerinya sendiri, Jerman. Pembantaian orang Yahudi oleh Hitler. Menurut Arendt, pembantaian itu tidak akan terjadi kalau warga negara Jerman tidak membiarkan Hitler melakukannya. Penambangan di hutan lindung RTK 103 juga begitu. Penghncuran terjadi, tidak hanya karena PT SJA menambang, tapi juga karena lembaga-lembaga negara setempat membiarkannya.
Pembiaran paling mencolok dilakukan Polres Manggarai. Banalitasnya nomor wahid. Mudah-mudahan PN Ruteng tidak ikut-ikutan banal. Kita berharap, lembaga yang masih bisa dipercaya para korban tambang ini menangkap panggilan tugasnya. Duc in altum! Betolaklah lebih ke dalam! Masuklah ke kedalaman just law. Ke kedalaman hukum yang memenuhi rasa keadilan.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 24 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar