Kaitkan Penegakan Hukum dengan Pemilukada
Oleh Frans Anggal
Kapolres Manggarai Barat (Mabar) Samsuri mengatakan, pihaknya tetap memproses hukum kasus eksplorasi tambang emas di Batu Gosok dan Tebedo. ”Kita sudah lakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi. Kita lakukan secara profesional, sesuai dengan aturan. Kapolda (NTT) sudah sampaikan ini kepada saya. Hanya, waktunya masih panjang” (Flores Pos Senin 29 Maret 2010).
Ada kalimat ’menarik’ di sini. Yakni: ”kita lakukan secara profesional”, namun ”waktunya masih panjang”. Kenapa masih panjang? Karena proses hukum kasus ini dikaitkan dengan pemilukada. Kapolres ajak semua pihak sukseskan pemilukada. Yang gagalkan akan diproses secara hukum.
Kita menolak tegas pengaitan seperti ini. Ada mindset sesat di baliknya. Pemilukada dianggap lebih penting daripada penegakan hukum. Politik lebih tinggi, dan karena itu hukum harus mengalah. Ritus politik harus tepat waktu, sedangkan penegakan hukum boleh bertele-tele, ditunda-tunda, atau dalam bahasa kapolres ”waktunya masih panjang”.
Kalau benar demikian prinsipnya, Polres Mabar mesti konsisten. Demi lancar, aman, tertib, dan suksesnya pemilukada, penegakan hukum bagi kasus apa saja boleh ditunda-tunda. Kalau ada yang babat hutan, pelakunya tidak harus segera ditangkap, karena ”waktunya masih panjang”, tunggu selesai pemilukada.
Dalam kenyataan, justru tidak begitu. Banyak pelaku pembalakan liar ditangkap, ditahan, dijadikan tersangka. Kenapa mereka tidak diperlakukan seperti Bupati Pranda dan kuasa pertambangan yang jangankan ditangkap, diperiksa saja belum? Inkonsistensi ini menunjukkan, pemilukada bukanlah alasan tepat menunda penegakan hukum. Kalau begitu? Pemilukada sedang dijadikan tameng bagi diskriminasi perlakukan hukum.
Seandainya Fidelis Pranda bukan bupati dan bukan incumbent yang sedang siap bertarung dalam pemilukada, ceritanya pasti lain. Seandaianya dia itu orang kecil, perlakuan terhadapnya pasti sama dengan perlakuan terhadap banyak pelaku pembalakan liar yang sudah ditangkap, ditahan, dan ditetapan jadi tersangka. Karena dia bupati, dia belum diperiksa. Karena dia incumbent, maka ”waktunya masih panjang”.
Waktunya masih panjang, padahal selama ini sudah berkepanjangan. Geram melaporkan kasus Batu Gosok dan Tebedo pada 14 September 2009. Enam bulan berlalu. Hasilnya? Kapolres Samsuri katakan, banyak saksi sudah diperiksa. Dalam kasus Batu Gosok 11 saksi, dalam kasus Tebedo 17 saksi. Banyak memang, tapi itu hanya para pihak terkait, bukan pihak yang paling bertanggung jawab. Bupati Pranda pemberi izin ilegal eksplorasi tambang emas itu belum diperiksa. Kuasa pertambangan pelaku eksplorasi ilegal pun demikian.
Inikah kerja profesional menurut Kapolres Samsuri? Jelas tidak. Enam bulan itu terlalu lama. Kenapa? Tindak pelanggaran hukum dalam kedua kasus ini sangat jelas. Pelaku pelanggarannya sangat jelas. Bukti dan dampaknya pun sangat jelas, bahkan kasatmata. Ibarat bubur, kedua kasus ini bubur dingin, bukan bubur panas. Maka, untuk menghabiskannya, tidak perlu berlama-lama menyenduk dari pinggir. Bisa langsung ke tengah, ke inti, ke Bupati Pranda dan kuasa pertambangan. Tapi, polres tidak lakukan itu.
Enam bulan lewat, sekarang kapolres kaitkan proses hukum itu dengan pemilukada. Selain dilatari mindset sesat, pengaitan tersebut memperlambat proses hukum. Juga, menginjak-injak keadilan. Karena, ini hanya akan menguntungkan nila setitik yang justru sudah merusak susu sebelanga.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 30 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar