Ketika Wartawan Diancam dan Dimaki
Oleh Frans Anggal
Di Kabupate Nagekeo, seorang staf Dinas Pekerjaan Umum (PU), Elvis Djawa, mengancam dan memaki wartawan gara-gara memberitakan rendahnya mutu pengerjaan jalan hotmiks dalam kota Mbay, ibu kota Nagekeo. Persatuan Jurnalis Nagekeo (PJN) mengecam tindakan Elvis. Mereka datangi kantornya, minta klarifikasi. Mulanya Elvis mengelak, tapi kemudian mengaku dan minta maaf. PJN mendesak Bupati Nani Aoh menindak tegas PNS ini secara adminstratif (Flores Pos Rabu 24 Maret 2010).
Rendahnya mutu pengerjaan jalan hotmiks dalam kota Mbay mencuat di media pekan sebelumnya. Pemberitaan didasarkan pada pengaduan masyarakat Danga ke DPRD. Intinya, belum sampai lima bulan, hasil proyek Rp5 miliar dari DAK 2009 itu sudah rusak. Jalannya retak-retak. Retakan ditutup dengan semen, lalu dicat hitam, agar tampak seperti hotmiks. Masyarakat mengecam rekanan dan instansi teknis (Dinas PU). DPRD kroscek ke lapngan. Terbukti, pengadukan masyarakat benar. DPRD pun memanggil Kadis PU Mihakel Padi. Sang kadis mengakui mutu pengerjaan jalan itu seperti apa.
Jadi, yang diberitakan media itu kebenaran faktual. Elvis Djawa mengancam dan memaki wartawan justru karena kebenaran itu disingkap. Ia hanya satu dari banyak penyelenggara pemerintahan yang menganggap penyingkapan kebenaran oleh media massa sebagai tindak kejahatan. Karena itulah, wartawan dianggap wajar untuk diancam dan dimaki.
Dalam optik sejarah jurnalisme, mindset para penyelenggara pemerintahan itu ketinggalan kereta berabad-abad. Mereka hidup saat ini di abad 21. Namun, mindset-nya masih menghuni rumah kuno, bahkan rumah hantu, awal abad 18, ketika baru seabad jurnalisme modern lahir di Inggris.
Seperti ditulis Bill Kovach dan Thom Rosentiel (2001), pada saat itu, hukum adat Inggris berbunyi: kritik terhadap pemerintah adalah tindak kejahatan. Benar sekalipun, kritik itu tetaplah jahat. Malah, semakin besar kebenarannya, semakin besar pula pencemaran nama baik yang ditimbulkannya. Kenapa? Karena kebenaran dianggap punya daya rusak yang lebih dahsyat ketimbang kesalahan.
Pada 1720, dua orang dari sebuah surat kabar London, yang menulis dengan nama samaran Cato, memperkenalkan ide yang membalikkan dalil hukum adat Inggris itu. Menurut Cato, kebenaran harus bisa menjadi pembuktian utama untuk menentukan sebuah pemberitaan itu pencemaran nama baik atau bukan. Dari ide Cato-lah lahir dalil: truth is the defense of libel. ’Kebenaran merupakan pertahanan melawan pencemaran nama baik’.
Konsep ini kemudian mengilhami lahirnya pers bebas di AS. Dalam konstitusi negara bagian Massachusetts kala itu, misalnya, pers bebas menjadi klaim pertama publik atas pemerintah mereka. Dua abad kemudian, pengertian pers sebagai benteng kebebasan menyatu dalam doktrin hukum AS.
Di Indonesia, hukum adat Inggris awal abad 18 itu masih berlaku jelang akhir abad 20. Puncaknya, era Orde Baru. Kala itu, kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai tindak kejahatan. Baru pada era Reformasi, dengan UU No 40 Thn 1999 tentang Pers, anggapan tersebut mulai terkikis. Namun, residunya masih melekat pada mindset banyak penyelenggara pemerintahan. Contohnya, Elvis Djawa itu.
Apakah kebanyakan penyelenggara pemerintahan di Nagekeo seperti itu? Mudah-mudahan tidaklah. Kalau kebanyakan masih seperti itu, disayangkan. Itu berarti Nagekeo salah lahir. Semestinya ia lahir dari rahim Orde Baru. Bukan dari rahim Orde Reformasi. Atau, mungkin, semestinya ia lahir di Inggris, di awal abad 18.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 25 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar