Mediokrasi dalam Pengerjaan Proyek
Oleh Frans Anggal
Masyarakat Danga, Kecamatan Aesesa, datangi DPRD Nagekeo di Mbay. Mereka kecam rekanan dan instansi teknis. Mutu pengerjaan jalan hotmiks dalam kota Mbay sangat jelek. Belum sampai lima bulan, hasil proyek Rp5 miliar dari DAK tahun 2009 itu sudah rusak. Jalannya retak-retak. Retakan ditutup dengan semen, lalu dicat hitam. Hasilnya, seolah-olah hotmiks.
Rabu 10 Maret 2010, Wakil Ketua DPRD Thomas Tiba dan Stanis Paso serta anggota dewan cek ke lapangan. Terbukti. Pengadukan masyarakat Danga benar. Maka, dewan akan ambil sikap. ”Kita akan panggil pemerintah untuk jelaskan ini. Bila perlu, bongkar dan kerja ulang, karena kualitasnya sangat buruk,” kata Thomas Tiba (Flores Pos Jumat 12 Maret 2010).
”Ambil sikap” yang dikatakan Thomas Tiba masih bersifat ”akan”. Pemastian waktunya belum jelas. Demikian pula ”bongkar dan kerja ulang”. Selain masih ”akan”, juga masih ”bila perlu”. Pemastian tindakannya belum jelas. Karena itu, kita jangan gopo-gapa memuji. Jangan memuji keledai sebelum senja, kata pepatah. Kita tunggu sampai pernyataan itu jadi kenyataan. Sampai ”akan” jadi ”sudah”. Sampai ”bila perlu” jadi ”memang perlu”.
Tidak hanya tunggu. Perlu juga tagih, desak, tuntut pemenuhannya. Sebab, pernyataan itu juga janji. Janji harus ditepati. Karena itu, masyarakat perlu datang lagi ke dewan: tagih, desak, tuntut pemenuhan janji dewan. Ini tidak bersifat ”bila perlu”, tapi ”memang perlu”. Siapa lagi yang bisa mengontrol wakil rakyat kalau bukan rakyat sendiri?
Ada sindiran, yang tengah berlangsung di Indonesia bukan demokrasi, tapi mediokrasi. Istilah ini berasal dari kata Inggris ”mediocre” (sedang-sedang, cukupan). Di dalamnya terkandung makna, semua yang dilakukan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak menuju pencapaian terbesar (maximum) dan terbaik (optimum). Semuanya hanya suam-suam kuku, abu-abu, setengah-setengah, asal-asal, seolah-olah.
Pelaku mediokrasi alias mediokrat-lah yang, antara lain, menghasilkan peraturan perundang-undangan yang sah namun bukan yang maksimal dan optimal. Sebab, bukan rahasia, tiap huruf, titik, dan koma UU dapat ditransaksikan. Para mediokrat jugalah yang sibuk dengan politik pencitraan. Sementara rakyat enggan membongkar struktur di balik pencitraan itu, entah karena terpedaya atau karena tidak tahu perannya sebagai warga negara.
Dalam pandangan filosof UI, Rocky Gerung, mediokrasi dengan segala bentuk dan manifestasinya membuat Indonesia seperti kehilangan peta. Semrawut. Tidak hanya pada tingkat material, tapi juga pada tingkat gagasan.
Kembali ke Mbay, Nagekeo. Ke proyek hotmiks jalan kota. Mbay, Nagekeo, ya Indonesia juga. Ya mediokrasi juga. Karena atmosfernya begitu, dan proyek dikerjakan dalam atmosfer seperti itu, maka hasilnya mediocre. Setengah-setengah, asal-asal, seolah-olah. Lihat: belum sampai lima bulan, hotmiksnya sudah retak. Mengatasinya, mediokrat punya akal yang akal-akalan. Retakan ditutup dengan semen, lalu dicat hitam, sehingga mirip hotmiks. Inilah mediokrasi proyek. Kerjanya asal-asal, hasilnya seolah-olah, untungnya sunguh-sungguh.
Apa jadinya Nagekeo, kalau dalam mediokrasi proyek, DPRD ikut-ikutan jadi mediokrat? Apakah buku Rancang Bangun Nagekeo harus diganti dengan “buku” Rancang Ambruk Nagekeo? Jangan. Karena itu, rakyat Nagekeo jangan hanya diam dan tunggu. Perlu tagih, desak, tuntut DPRD penuhi janji. Jadilah advocatus diaboli atau devil’s advocate bagi DPRD. Yaitu: setan yang selamatkan DPRD justru dengan cara mengganggunya terus-menerus.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 13 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar