Kasus Tambang Mangan di Hutan Lindung
Oleh Frans Anggal
Warga lingkar tambang di Soga, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, mendatangi PN Ruteng, Selasa 9 Maret 2010. Mereka didampingi JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC SVD Ruteng, OFM Indonesia, Alamadi NTT, dan Soppan. Mereka mendesak, eksploitasi tambang mangan PT Sumber Jaya Asia (SJA) di hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103 dihentikan, karena telah merusak lingkungan hidup dan kehidupan mereka.
Kedatangan mereka merupakan tindak lanjut gugatan perdata class action yang mereka ajukan ke PN Ruteng beberapa waktu lalu. Gugatan perdata ’terpaksa’ mereka ajukan karena laporan pidananya belum kunjung ditindaklanjuti oleh Polres Manggarai sampai saat ini (Flores Pos Rabu 10 Maret 2010).
Dari sisi hukum, tak ada alasan mendasar polres diam. Polres miliki dasar kuat untuk segera memulai penyelidikan dan penyidikan. Dan karena ini bukan delik aduan, semestinya langkah hukum itu sudah diambil meski tanpa laporan dari masyarakat lingkar tambang.
Pertama, dalam menambang mangan di hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103, PT SJA tidak kantongi izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Padahal, itu diharuskan oleh UU 41/1999 tentang Kehutanan. Permohonan izin yang diajukan 24 November 2008 sudah ditolak oleh Menhut 27 Januari 2009. Meski demikian, PT SJA menambang terus. Ini sudah tindak pidana. Polres tetap diam.
Kedua, menanggapi tembusan surat Menhut yang menolak permohonan izin PT SJA itu, Kapolda NTT Februari 2009 telah instruksikan Kapolres Manggarai segera lakukan penyelidikan di kawasan hutan lindung dimaksud, dan segera lakukan penyidikan apabila sudah terjadi penambangan. Kenyataan, PT SJA tetap, masih, dan terus menambang. Polres tetap diam.
Ketiga, masyarakat lingkar tambang sudah laporkan tindak pidana PT SJA ke Polres Manggarai bebrapa waktu yang lalu. Mereka sodorkan data dari petikan fakta lapangan yang, kalau digunakan, akan bermanfaat bagi penyelidikan dan penyidikan. Polres tetap diam.
Polres baru bangkit dari diam ketika tindak pidana yang sama dilakukan di tempat yang sama oleh warga setempat. Mereka dicap merambah hutan lindung. Ditangkap, ditahan, disidik, didakwa, diadili, dipenjara. Cap itu benar. Proses hukum itu juga benar. Maka, pertanyaan kita di sini bukan ’kenapa para warga ditindak’, tapi ’kenapa pelaku lainnya tidak ditindak’.
PT SJA lakukan tindak pidana yang sama, di tempat yang sama. Malah, dengan tingkat peruskaan yang tinggi dan dampak kerusakan yang dahsyat. Akibat eksploitasi mangan, di hutan lindung itu kini bertebaran lubang dalam. Bukit hijau jadi gundul. Kering. Gersang. Mata air mati. Warga sulit dapat air minum bersih. Mereka juga gagal panen karena lahan pertanian ketiadaan air.
Terhadap tindak pidana ini dan segala akibatnya, Polres Manggarai diam. Penilaian umum: polres tebang pilih. Diskriminatif. Berstandar ganda. Kalau bukan diskriminasi, maka ini diskresi. Pertanyaan kita: legalitas dan moralitas apa di balik dikresi itu? Sejauh ini, polres belum bisa menjelaskannya dengan baik. Dan pasti tidak akan bisa. Legalitas dan moralitasnya absurd.
Oleh absurditas itu, sulit bagi kita untuk tidak patut dapat menduga bahwa kasus ini berada dalam ’pasar gelap keadilan’ (black market of justice). Di dalamnya, penegakan hukum berarti transaksi. Kebenaran dan keadilan substansial menjadi kebenaran dan keadilan transaksional. Kebenaran dan keadilan bukan lagi soal ‘nilai’ (value) tapi soal ‘harga’ (price). Karena inikah polres diam?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 11 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar