Kasus Tambang Mangan di Manggarai
Oleh Frans Anggal
DPRD Manggarai berencana turun ke lokasi tambang mangan di Torong Besi, Robek, Kecamatan Reok, dan sejumlah tempat lain. Langkah diambil menyikapi penolakan masyarakat terhadap tambang terbuka. DPRD akan cek apakah data dan fakta yang disampaikan masyarakat sesuai dengan kondisi riil di lapangan (Flores Pos Sabtu 13 Maret 2010).
Di Torong Besi, PT Sumber Jaya Asia (SJA) menambang mangan di hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103. Tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Padahal itu diharuskan oleh UU 41/1999 tentang Kehutanan. Jelas-jelas, penambangannya itu ilegal. Tindak pidana. Herannya, Polres Manggarai diam saja. Tapi, begitu masyarakat potong kayu di kawasan yang sama, mereka dicap merambah hutan. Polres tiba-tiba gesit lakukan proses hukum.
Mesin hukum ini hanya lancar menghukum orang kacil. Begitu berhadapan dengan kuasa pertambangan, mesinnya ngadat. Pencari keadilan tidak bisa mengandalkannya lagi. Mungkin, ganti dulu kapolresnya baru kepercayaan pulih. Sebagaimana terjadi, misalnya, dalam proses hukum kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr di Ngada dan Yoakim Langoday di Lembata.
Ketidakpercayaan inilah yang melatarbelakangi warga Soga lingkar tambang Torong Besi ajukan gugatan perdata class action ke PN Ruteng. Secara pidana, mereka telah laporkan PT SJA ke polres. Tapi, itu tadi, polresnya diam. Tunggu polres bergerak ya kapan? Tunggu kapolres diganti ya kapan? Selama menunggu, selama itu juga perusakan lingkungan hidup dan kehidupan mereka jalan terus. Sebab, PT SJA menambang terus.
Dengan gugatan perdata, setelah polres sudah tidak dipercayai, harapan akan keadilan kini mereka tunggu dari PN Ruteng. Dalam penungguan inilah DPRD mengambil langkah. Sembilan anggota dewan akan turun cek ke lapangan. Bagaimana ceknya, apa hasilnya, apa pula sikapnya, masih harus ditunggu.
Dalam menunggu, warga boleh berharap. Namun jangan muluk-muluklah. Sebab, langkah DPRD itu langkah politik. Bukan langkah hukum. Ujung langkahnya, rekomendasi. Kalau rekomendasinya ditindaklanjuti pihak yang dituju ya untung. Kalau dimasabodohi ya buntung. Contohnya ada. Tidak jauh-jauh. Di kabupaten tetangga, Manggarai Barat (Mabar).
Di Mabar, kasusnya eksplorasi tambang emas. Di Batu Gosok, izinnya diberikan Bupati Fidelis Pranda dengan langgar perda tata ruang. Di Tebedo, izin diberikan, juga oleh Bupati Pranda, dengan langgar UU 41/1999 tentang Kehutanan. Sebab, yang berhak beri izin pinjam pakai kawasan hutan itu Menhut, bukan bupati. Kasusnya sudah di Polres Mabar. Lebih kurang buruknya daripada Polres Manggarai, Polres Mabar tidak diam. Tapi, itu hanya awalnya. Selanjutnya, diam panjang juga. Sampai sekarang bupati dan kuasa pertambangan belum diperikasa.
Terhadapnya, apa langkah politik DPRD Mabar? Tidak ada! DPRD pernah bikin rekomendasi. Mereka surati Bupati Pranda. Isinya: minta eksplorasi di Batu Gosok dan Tebedo dihentikan sementara. Bupati tidak gubris. Tindak lanjut DPRD? Tidak ada! Jadinya, diam panjang berjemaah. Polres diam, bupati diam, DPRD diam. Pikiran, tenaga, dan waktu mereka kini tercurah ke pemilukada.
Langkah politik DPRD Manggarai pun bisa berujung seperti itu. Apalagi, sekarang musim pemilukada juga. Kita berharap DPRD Manggarai lainlah. Dan, sadarlah. Sebagai legislatif, mereka hamba keadilan. Mereka dipilih rakyat, setelah mengemis suara rakyat. Maka, mereka pelayan rakyat. Karena itu, mereka hanya boleh bekerja untuk kepentingan dan demi keadilan bagi rakyat.
“Bentara” FLORES POS, Senin 15 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar