Dari Demo Folinta di Lembata
Oleh Frans Anggal
Kelompok civil society yang tergabung dalam Front Peduli Pembangunan Lembata (Folinta) berdemo ke kantor bupati dan DPRD Lembata, Sabtu 6 Maret 2010. Mereka soroti tender proyek bencana alam Rp9 miliar dan sejumlah proyek bermasalah. Intinya: korupsi di Lembata sudah sangat parah. Ini yang menyebabkan 99 persen proyek bermasalah (Flores Pos Senin 8 Maret 2010).
Wakil Ketua DPRD Yoseph Meran Lagaour akui itu. Sepanjang 2005- 2009, banyak proyek bermasalah. Sudah banyak, belum tuntas pula. DPRD sendiri sudah capek omong tentangnya. Meski demikian, DPRD bertekad, semua masalah itu sudah tuntas sebelum 2011. Dengan demikian, bupati baru nanti tidak perlu lagi urus masalah-masalah lama.
Tekad yang bagus. Kalau itu dilaksanakan dan berhasil, semua masalah lama itu tuntas. Dengan tuntasnya masalah lama, apakah tidak ada masalah lagi? Tentu tidak. Setiap bupati punya masalahnya. Dari pengalaman, bupati itu ’pembuat masalah’ (problem maker) juga, selain ’penyelesai masalah’ (problem solver).
Folinta menyebut pembuat masalah itu sebagi ’pembunuh’. Ada empat kelompok ’pembunuh’ di Lembata. Yakni: pemerintah, DPRD, penegak hukum, dan kontraktor. Kecuali penegak hukum dan kontraktor, dua ’pembunuh’ lainnya dipilih langsung oleh rakyat. Kepala pemerintahan, yakni bupati dan wabup, dipilih lewat pilkada (sekarang pemilukada). DPRD lewat pileg.
Artinya apa? Rakyat selaku pemilih tidak sepenuhnya bisa cuci tangan. Merekalah yang memilih (atau salah memilih) ’pembunuh’. Ini salah satu sisi buruk, dari sekian banyak sisi baik, pemilihan langsung. Bahkan, ini salah satu dampak negatif, dari sekian banyak dampak positif, demokrasi. Masuk akal kalau Socrates, sejak masa Athena ribuan tahun silam, sudah mencemaskan risiko demokrasi. Filosof ini menolak demokrasi, karena demokrasi memungkinkan kita diperintah orang bodoh atau bahkan orang jahat.
Sekali kita diperintah oleh, katakanlah, bupati seperti itu, kita tidak bisa turunkan dia begitu saja di tangah jalan. Demokrasi punya aturan main. Kita kenal sirkulasi kekuasaan lima tahunan. Maka, cara demokratis gantikan dia ya tunggu pemilukada. Lain cerita kalau dia mati, berhalangan tetap, atau lakukan pelanggaran hukum luar biasa.
Dalam konteks Lembata, banyaknya proyek bermasalah 2005- 2009 tidak cukup jadi dasar untuk turunkan Bupati Andreas Duli Manuk dan Wabup Andreas Nula Liliweri di tengah jalan. Buruknya kinerja dan prestasi kerja mereka tidak dapat jadi dasar menjatuhkan mereka sebelum masa jabatannya berakhir 2011. Sama halnya terhadap DPRD. Mau tidak mau ya tunggu pemilukada 2011.
Karena itu, dua sikap perlu dikembangkan. Pertama, partisipasi memilih pemimpin perlu disertai kesadaran bahwa sang pemimpin mungkin akan jadi ‘pembunuh’, dan ini harus ditanggung sebagai risiko demokrasi seperti diingatkan Socrates, tanpa harus memberhentikannya di tengah jalan sesuai dengan aturan demokrasi yang mengenal sirkulasi kekuasaan secara berkala.
Kedua, karena demokrasi memungkinkan kita diperintah orang bodoh atau bahkan orang jahat (menurut Socrates) atau ‘pembunuh’ (menurut Folinta), maka jadilah pemilih cerdas. Kandidat yang rekam jejaknya buruk, yang tebukti jadi ‘pembunuh’ atau berpotensi jadi ‘pembunuh’, jangan dipilih. Memilih secara cerdas samalah dengan memilih secara bertanggung jawab.
Ini tidak hanya bagi Lembata 2011. Tapi juga bagi Flotim, Ngada, Manggarai, dan Mabar 2010. Pesannya sama. Jangan coba-coba pilih ‘pembunuh’.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 9 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar