Korupsi di Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kelautan
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 11 pejabat di Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Manggarai Timur (Matim) jadi tersangka kasus korupsi proyek 30 kapal ikan tahun 2009 senilai Rp900 juta. Mereka: kuasa pengguna anggaran Kadis Ignasius Tora, pejabat pelaksana teknis, unit layanan pengadaan barang dan jasa, panitia pemeriksa barang, serta rekanan. Mereka langgar Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dugaan sementara kerugian negara Rp477 juta (Flores Pos Selasa 9 Maret 2010).
Matim. Pada 17 Juli 2010, usianya baru genap tiga tahun, setelah disapih dari induknya Manggarai. Masih belia. Bahkan masih balita. Tapi, sudah lahirkan banyak koruptor. Hebat to itu. Namun, tidak mengejutkan juga. Hampir semua daerah otonom baru ya begitu. Yang baru cuma kabupatennya. Pejabatnya pejabat lama, pindahan dari kabupaten induk. Mentalitasnya mentalitas lama. Maka: ke kabupaten mekaran, mereka datang rame-rame sebagai laskar lapar.
Namanya laskar lapar, apa saja disikat. Yang paling laris, anggaran pengadaan barang dan jasa pemerintah. Kenapa? Tiap tahun proyek ini datang ke tiap instansi. Publik tidak menaruh perhatian. Mereka anggap itu urusan adminstratif kantor pemerintah. Tidak ada sangkut-paut dengan hidup mereka. Jadi, aman untuk disikat. Maka: pengadaan barang dan jasa pemerintah menjadi salah satu lahan korupsi paling menonjol, melibatkan dana APBD/APBN paling besar setiap tahun, dengan tingkat kebocoran tinggi sekitar 20 persen.
Ditarik ke belakang, praktik ini tidak baru. Sudah sejak pembangunan nasional 1970-an. Awal 1980-an, barulah ekonom pemerintah mengakuinya. Soemitro Djojohadikusumo dan Emil Salim pernah bilang, sekitar 30 persen kebocoran anggaran pendapatan dan belanja negara bersumber dari kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Modusnya macam-macam. Bisa berupa pemberian suap atau sogok, penggelapan, pemalsuan, pemerasan, penyalahgunaan jabatan atau wewenang, pertentangan kepentingan atau memiliki usaha sendiri, pilih kasih, menerima komisi, nepotisme, dan sumbangan ilegal.
Apa pun modusnya, korupsinya selalu berjemaah. Contohnya, di Matim itu. Satu kasus, sebelas tersangka. Dari kepala kantor sampai anak buah. Semua terlibat. Semua ikut makan. Betul-betul ‘kesebelasan’ laskar lapar. Menjadi kentara di sini, korupsi itu sistemik dan terorganisasi. Di dalamnya, para jemaah menempatkan kepentingan publik di bawah tujuan privat mereka, dengan melanggar norma tugas dan kesejahteraan, dibarengi keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan pengabaian yang kejam atas setiap konsekuensi yang diderita oleh publik (Alatas, 1983).
Ketika itu terjadi di kalangan pejabat publik, dampaknya sangat berbahaya. Ini sudah diingatkan oleh Kongres Ke-8 PBB, yang mengesahkan resolusi Corruption in Government di Havana 1990. Korupsi di kalangan pejabat publik menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah. Menghambat pembangunan. Dan, menimbulkan korban individual kelompok masyarakat.
Di atas segalanya, korupsi di kalangan pejabat publik meruntuhkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya. Dalam kasus di Matim, bakal runtuhnya kepercayaan rakyat merupakan pukulan terberat bagi Bupati Yosef Tote dan Wabup Andreas Agas. Mereka telah salah memilih dan menempatkan orang. Laskar lapar koq dipercaya. Sudah tidak ada kader lagi ka?
“Bentara” FLORES POS, Rabu 10 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar