Tuntutan Jaksa dalam Kasus Romo Faustin Sega Pr
Oleh Frans Anggal
Theresia Tawa dan Anus Waja, terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Romo Faustin Sega Pr, dituntut penjara seumur hidup oleh jaksa penuntut umum pada sidang di PN Bajawa, Kamis 4 Maret 2010. Menurut jaksa, kedua terdakwa terbukti sah dan meyakinkan, secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana terhadap korban (Flores Pos Sabtu 6 Maret 2010).
Massa pengunjung sidang perlihatkan dua reaksi berbeda. Mereka bersorak gembira, ketika bagi Theresia Tawa, jaksa bacakan tuntutan: penjara seumur hidup. Sebaliknya, mereka berteriak kecewa, ketika bagi Anus Waja, jaksa bacakan tuntutan yang sama: penjara seumur hidup.
Tidak hanya massa. Keluarga Romo Faustin juga kecewa. JPIC Keuskupan Agung Ende juga. Alasan kekecewaan: Anus Waja itu penyebab utama pembunuhan berencana. Kenapa tuntutan bagi dia sama dengan tuntutan bagi Theresia Tawa? Kurang lebih demikian alasannya.
Alasan ini menyiratkan keinginan agar tuntutan bagi Anus Waja lebih berat. Kalau Theresia Tawa dituntut penjara seumur hidup, apa yang lebih berat daripada itu yang layak bagi Anus Waja? Tampaknya, tidak ada yang lain selain satu ini: hukuman mati. Itukah yang kita inginkan? Mata ganti mata, gigi ganti gigi? Menghapus darah dengan darah?
Beberapa tahun lalu, kita, di Flores ini, berteriak lantang menolak eksekusi mati Tibo cs. Segala alasan penolakan kita kemukakan. Dari alasan hukum dan keadilan hingga alasan agama dan religius. Kita kutip pasal dan ayat konstitusi UUD 1945 dan UU HAM. Kita beberkan argumentasi filosofis dan teologis.
Kenapa yang kita perlihatkan dalam kasus Tibo tidak lagi kita tunjukkan dalam kasus Romo Faustin? Mungkin, kita telah gagal “melawan lupa”, istilah sastrawan Chekoslowakia, Milan Kundera. “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingat melawan lupa,” katanya. Kekuasaan di sini, dalam kasus kita, kekuasaan kita sendiri. Tuannya, diri kita sendiri. Maka, demi kepentingan diri sendiri, mungkin kita tidak sedang gagal “melawan lupa”. Sebaliknya, kita sedang membangun “proyek lupa”.
Barangkali, “proyek lupa” dalam kasus kita ini kita gunakan bukan sebagai sikap hidup, tapi sekadar taktik mengegolkan keinginan. Olehnya, yang kita perlihatkan dalam kasus Tibo tidak atau belum kita perlihatkan dalam kasus Romo Faustin. Dengan dalih, tahap perkaranya berbeda. Dalam kasus Tibo, yang kita hadapi adalah pelaksanaan putusan (eksekusi) mati. Sedangkan dalam kasus Romo Faustin, baru berupa tuntutan jaksa. Kita inginkan jaksa menuntut hukuman mati, dengan perhitungan (taktik): vonisnya nanti kurang dari itu tapi maksimal, katakanlah penjara seumur hidup. Kita kecewa ketika taktik itu gagal.
Kalau benar keinginan kita akan tuntutan hukuman mati sekadar taktik, apa sesungguhnya yang sedang kita lakukan? Kita sedang menjerumuskan diri ke dalam oportunisme moral. Kita tidak jujur. Tidak murni dan tidak konsekuen memperjuangkan dan memenangkan nilai kehidupan. Kalau benar kita menolak hukumam mati, kita harus berani bersaksi dalam kasus apa pun, menyangkut siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Aspek “kapan pun” mencakup pula semua tahap perkara. Maka: bersaksilah dari awal, bukan tunggu eksekusi mati.
Kita tidak tahu, mungkin JPU tahu itu. Mungkin ia tahu, kita, di Flores ini, pernah berteriak lantang menolak eksekusi mati Tibo. Maka, dalam kasus Romo Faustin, ia pun tidak menuntut hukuman mati bagi Anus Waja. Mungkin ia ingin menghargai nilai yang kita anut dan perjuangan yang pernah kita lancarkan, meskipun itu bukan tugasnya. Kalau begitu, kenapa kita kecewa?
“Bentara” FLORES POS, Senin 8 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar