Kasus Korupsi di Ende
Oleh Frans Anggal
Kejari Ende menetapkan mantan Sekda Ende Iskandar Mohammad Mberu dan Asisten I Stda Ende Hendrikus Seni menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dana APBD Kabupaten Ende, khusus pos tidak terduga, senilai Rp150 juta. Kejaksaan akan segera layangkan surat panggilan, kata Kajari Marihot Silalahi (Flores Pos Kamis 4 Maret 2010).
Dalam kasus ini, Iskandar Mberu memerintahkan Kepala BPKAD utuk keluarkan uang Rp150 juta. Uang ini diterima Hendrik Seni untuk diteruskan kepada pihak ketiga, yakni (menurut penyelidikan) oknum BPK. Hendrik Seni merasa ia tidak lakukan korupsi. Sebab, dia hanya perantara. Uang itu tidak ia nikmati. Malah uang itu sudah dikembalikan ke kas negara.
Ini dibenarkan Sekretaris Pusat Kajian dan Advokasi Masyarakat, Oscar Vigator. Menurut dia, sepatutnya kasus ini tidak dilanjutkan. Dua unsurnya sudah tidak ada. Unsur memperkaya diri tak relevan, karena uang itu bukan untuk dan tidak dinikmati oleh Hendrik Seni. Ia hanya perantara. Sedangkan unsur merugikan keuangan negara gugur, karena uang sudah dikembalikan ke kas daerah.
Tanggapan Kajari Silalahi? Pengembalian uang tidak menghentikan proses hukum. Apalagi, uang itu baru dikembalikan setelah jaksa lakukan penyidikan. Pengembalian uang hanya akan jadi bahan pertimbangan dalam perkara, tapi tidak menghentikan perkara.
Kajari Silalahi benar. Tanpa merujuk UU ruwet, cukup pakai akal sehat, kita paham. Contohnya, dari yang sederhana saja. Si A menganiaya si B hingga terluka. Ada dua unsur di sini. Unsur perbuatan (menganiaya) dan unsur akibat (terluka). Karena diobati, luka itu sembuh. Dengan kata lain, akibat dari perbuatan itu pulih. Pertanyaan kita: dengan pulihnya akibat, apakah perbuatan menganiaya dianggap tidak (pernah) ada?
Akal sehat kita pasti bilang: tidak. Logika hukum pidana juga begitu. Perbuatan pidana tidak hilang atau dianggap tidak ada hanya karena akibatnya dipulihkan. Tindak pidana korupsi tidak hilang atau dianggap tidak ada hanya karena uang negara kembali. Karena itu, dalam kasus di atas, Kajari Silalahi benar. Pengembalian uang ke kas negara tidak menghentikan proses hukum.
Mengembalikan uang itu jelas tindakan terpuji. Maka, patut dijadikan bahan pertimbangan dalam perkara. Namun, ‘sayangnya’, tindakan itu tidak bisa menghentikan perkara. Sebab, ‘ini sedihnya’, selain merupakan keharusan, mengembalikan uang itu serentak juga merupakan bukti adanya perbuatan melawan hukum. Kalau tidak melawan hukum, kenapa dikembalikan?
Yang menarik dari kasus ini sebenarnya bukan itu. Tapi, dua hal ini, Pertama, momentum penetapan tersangkanya. Koq, dilakukan sehari setelah PMKRI mendesak Kajari Silalahi mundur karena dinilai gagal. Apakah karena ada presur lalu mulai gopo-gapa? Atau urutan kejadian itu kebetulan saja?
Seorang warga Ende, Romo Yosef Liwu Pr, mempertanyakan ini via SMS. “Lihat tuh, setelah PMKRI demo, ya langsung ada tersangka baru e? Atau memang kejari sudah bidik duluan? Tapi pola kerja yang begitu-begitu saja dari dulu. Diam panjang, gebrak 1-2 menit, dan begitu terus, yang berujung pada tidak ada hasil.”
Kedua, kenapa kajari dahulukan kasus kecil ini? Kenapa tidak prioritaskan kasus besar yang berultah berkali-kali di kejari dan rugikan keuangan negara miliaran rupiah? Apakah ini kerja ala kadarnya sebelum pamit biar tidak dinilai gagal? Kita khawatir, Romo Yosef Liwu benar. Ini “gebrak 1-2 menit” sebelum “diam panjang” berlanjut, “yang berujung pada tidak ada hasil.”
“Bentara” FLORES POS, Jumat 5 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar