Sikap Menolak Hukuman Mati
Oleh Frans Anggal
Tiga hari lagi, 25 Maret 2010, majelis hakim PN Bajawa menjatuhkan vonis bagi Theresia Tawa dan Anus Waja, terdakwa kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr. Jaksa menuntut keduanya dihukum penjara seumur hidup. Vonis hakim? Bisa lebih daripada itu (hukumam mati), bisa sama dengan itu (penjara seumur hidup), bisa pula kurang daripada itu.
Dalam menanti putusan tersebut, kita berhak untuk berharap. Namun, harapan kita hendaknya mengacu pada nilai yang semestinya kita anut. Artinya, harapan kita tidak boleh hanya demi sesuatu yang bersifat psikologis (puas), tapi juga dan terutama mesti demi sesuatu yang bersifat moral (baik, benar, adil).
Opini Romo Ronny Netowuli Pr yang berjudul ”Apakah Hukuman Mati Menjadi Cara Terbaik untuk Mencegah Kejahatan?” yang dimuat Flores Pos hari ini (Senin 22 Maret 2010) kiranya bermanfaat. Gereja Katolik. selalu mengajak umat manusia menghormati kehidupan dengan menjaga, memelihara, dan merawatnya. Gereja Katolik juga konsiten mempromosikan budaya pengampunan dan rekonsiliasi. Karena itu, Gereja menolak segala bentuk pengingkaran terhadapnya: aborsi,eutanasia, dan hukuman mati.
Nilai pro-life inilah yang semestinya manjadi acuan harapan kita dalam menanti putusan PN Bajawa. Tegasnya, dengan acuan pro-life itu, sudah seharusnya kita tidak mengharapkan Theresia Tawa dan Anus Waja dijatuhi hukuman mati. Harapan seperti ini tepat, tidak hanya karena kita Katolik, tapi juga karena kita warga negara Indonesia.
Negara kita memiliki konstitusi yang pro-life. UUD 1945 Pasal 28 A menegaskan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupan. Pasal 28 I menyatakan, hak untuk hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Tahun 2005, kita meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang mencantumkan, setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya.
Bahwa KUHP masih mencantumkan hukuman mati, itulah ngawurnya Indonesia. Acuan KUHP adalah hukum Belanda. Anehnya, kita masih mewariskan peninggalan kolonial itu, padahal di Belanda sendiri hukuman mati sudah dihapuskan. Di Timor Leste, negara baru yang notabene mengadopsi KUHP kita, hukuman mati dicoret.
Kita berharap, majelis hakim PN Bajawa tidak terperangkap dalam kengawuran ini. Hukuman mati dalam KUHP jelas bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Secara hierarkis perundang-undangan, konstitusi lebih tinggi daripada UU (KUHP). Karena itu, majelis hakim harus memenangkan konstitusi, bukan melap-lap KUHP kuno.
Kita juga berharap, masyarakat, khususnya umat Kevikepan Bajawa dan keluarga Romo Faustin, tidak terperangkap dalam kengawuran mereaksi vonis nanti. Sebagaimana dalam berharap, demikian juga dalam bereaksi, kita hendaknya tetap menghormati kehidupan dengan menjaga, memelihara, dan merawatnya. Karena itu, segala bentuk anarki tidaklah pantas.
Mudah-mudahan kita masih ingat perjuangan kita menolak ekskusi mati Tibo dkk tahun 2006. Tentang bagaimana seharusnya kita bereaksi, Uskup Maumere kala itu Mgr. Vincentius Sensi Potokota yang kini Uskup Agung Ende mengeluarkan surat pastoral. Salah satu penegasannya tetap relevan bagi kita.
“Perjuangan kita demi kehidupan, kebenaran, dan keadilan tetap kita pertahankan, …. Dalam memberikan reaksi …, kami menegaskan agar kita tetap konsisten dengan keseluruhan isi perjuangan kita.”
“Bentara” FLORES POS, Senin 22 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar