Menyoal Pernyataan Gubernur Frans Lebu Raya
Oleh Frans Anggal
Gubernur NTT Frans Lebu Raya mempertanyakan pakta kejujuran pelaksanaan ujian nasional (UN) 2010. Menurut dia, dengan ditandatanganinya pakta ini maka bisa disinyalir bahwa pelaksanaan UN sebelumnya tidak jujur. ”Apakah UN selama ini tidak dilakukan dengan jujur sehingga harus dibuat pakta kejujuran?” katanya dalam raker dengan para bupati/walikota se-NTT di Kupang (Flores Pos Senin 22 Maret 2010).
Pakta kejujuran pelaksanaan UN 2010 digagas oleh Mendiknas Muhammad Nuh. Pakta ini ditandatangani di Jakarta, Kamis 4 Maret 2010, oleh 33 kadis pendidikan se-Indonesia, Majelis Rektor Indonesia (MRI), dan Badan Sandar Nasional Pendidikan (BSNP).
”Saya berharap, UN dapat dilaksanakan dengan kredibilitas yang tinggi, tidak terlambat, mendapat pengawasan yang ketat, sehingga tidak terjadi kecurangan,” kata mendiknas.
Dari tujuannya, pakta ini bagus. Sayang, tujuan bagus ini tidak dilihat, atau mungkin dilihat tapi tidak dihiraukan, oleh Gubernur Lebu Raya. Karena itu, dalam pernyataannya, Lebu Raya tidak menegaskan tujuan pakta. Sebaliknya, ia mempertanyakan alasan, dasar, atau motif pakta itu. Ia katakan, dengan ditandatanganinya pakta ini maka bisa disinyalir bahwa pelaksanaan UN sebelumnya tidak jujur.
Cara berpikir di balik pernyataan itu ’berbahaya’. Bisa melunturkan makna segala bentuk niat, tekad, janji, dan sumpah. Contohnya, ini. Saat dilantik, seorang gubernur mengucapkan sumpah jabatan. Isinya, antara lain, soal kejujuran, tanggung jawab, dll. Kalau mengikuti cara berpikir di atas, kita harus mengatakan: dengan diucapkannya sumpah jabatan itu oleh gubernur terlantik maka bisa disinyalir bahwa sebelumnya si gubernur itu tidak jujur, tidak bertanggung jawab, dll.
Dalam simpulan seperti itu, pengucapan sumpah jabatan disamakan dengan pernyataan tobat. Itu berarti, si pengucap sumpah harus pernah melakukan kesalahan besar. Kesalahan itu membuatnya resah. Resah itu membawanya ke sesal. Sesal itu melahirkan tobat: keputusan untuk tidak mengulangi kesalahan. Dan tobat itu ia ucapkan sebagai sumpah jabatan.
Kalau melakukan kesalahan besar merupakan prasyarat pengucapan sumpah jabatan, maka kita pun dapat mengatakan, misalnya, yang tidak pernah melakukan kesalahan besar janganlah bermimpi jadi gubernur! Sebab, untuk jadi gubernur, seseorang tidak hanya harus menang pilgub dan di-SK-kan, tapi juga harus dilantik dan diambil sumpahnya. Bagaimana bisa mengucapkan sumpah kalau belum pernah melakukan kesalahan besar?
Simpulan seperti ini jelas sesat. Namun, begitulah bahayanya yang bisa ditarik kalau pernyataan Gubernur Lebu Raya tadi dianggap benar. Kita semua tahu, hakikat sumpah jabatan tidak seperti itu. Sumpah jabatan bukan pernyataan tobat, tapi hanya pernyataan tekad dan ikrar yang diucapkan resmi dengan bersaksi kepada Tuhan. Pakta kejujuran pelaksanaan UN 2010 pun kurang lebih seperti itu. Bedanya cuma tanpa bersaksi kepada Tuhan.
Karena itu, adalah lebih baik dan lebih berguna Gubernur Lebu Raya menegaskan, menjelaskan, dan memperjuangkan tujuan pakta kejujuran pelaksanaan UN ketimbang mempertanyakan alasan, dasar, atau motif penandatanganannya. Kita tidak ingin makna segala bentuk niat, tekad, janji, dan sumpah luntur. Niat, tekad, dan janji kejujuran pelaksanaan UN pun demikian. Lebih baik dan lebih berguna didukung ketimbang dipertanyakan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 23 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar