Tertundanya Sidang Class Action Kasus Tambang
Oleh Frans Anggal
Betapa kecewanya warga lingkar tambang Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai. Sidang gugatan perwakilan (class action) yang mereka ajukan ke PN Ruteng ditunda. Sudah dijadwalkan sebulan sebelumnya, sidang digelar 25 Maret 2010. Namun, pada hari-H, hanya 1 dari 5 tergugat yang hadir. Sidang pun ditunda satu bulan ke depan. Dijadwalkan, 22 April 2010 (Flores Pos Jumat 26 Maret 2010)
Warga lingkar tambang kecewa, tidak hanya karena sidang itu ditunda. Tapi juga karena dua hal terkait. Pertama, sebagaimana disampaikan majelis hakim, tidak ada keterangan dari keempat tergugat perihal ketidakhadiran dan alasan ketidakhadiran mereka. Kedua, satu dari empat tergugat yang tidak hadir itu bukan siapa-siapa tapi Bupati Manggarai Christian Rotok.
”Ini menjadi tanda tanya besar .... Apakah begitu jauh jarak antara PN Ruteng dan kantor bupati sehingga (bupati) tidak bisa hadiri persidangan ini?” Begitu kata Emil Sarwandi, warga lingkar tambang. Selain Bupati Rotok, tergugat yang mangkir adalah PT Tribina Sempurna, PT Istindo Mitra Perdana, dan Menteri ESDM. Yang hadir hanya PT Sumber Jaya Asia (SJA).
Dalam gugatannya, warga lingkar tambang antara lain mendesak penambangan mangan di kawasan hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103 dihentikan. Penambangan itu ilegal karena tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Juga, telah terbukti nyata merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat. Warga menuntut ganti rugi dan rehabilitasi lingkungan.
Tidak hadirnya tiga tergugat lain mungkin dapat dimengerti, meski tidak dapat dibenarkan. Barangkali karena jauh. Tidak demikian dengan tidak hadirnya Bupati Rotok. ”Ini menjadi tanda tanya besar ....,” kata Emil Sarwandi. ”Apakah begitu jauh jarak antara PN Ruteng dan kantor bupati ....?
Emil Sarwandi melihat jarak itu secara lokatif. Kantor bupati dan kantor PN sama-sama terletak di Ruteng. Sama-sama dalam bilangan pusat kota. Jaraknya cuma dua ratusan meter. Sedekat itu jaraknya, koq bupati tidak bisa hadiri persidangan. Ini yang ”menjadi tanda tanya besar”, tidak hanya pada diri Emil Sarwandi, tapi juga pada diri semua warga lingkar tambang.
Tanda tanya besar itu lahir karena jarak tadi dilihat secara lokatif. Masih ada cara pandang lain. Yakni, melihat jarak tidak secara lokatif, tapi secara psikologis. Dengan demikian, kedekatan yang ditekankan bukan kedekatan lokatif, tapi kedekatan psikologis. Dengan cara pandang ini, apa yang dapat kita katakan tentang ketidakhadiran bupati? Ia tidak punya kedekatan psikologis dengan masyarakatnya. Dalam hal ini, dengan masyarakat lingkar tambang. Bahkan, mungkin, ia tidak peduli dengan derita mereka. Juga, tidak peduli dengan perjuangan mereka mencari keadilan.
Penalarannya sederhana saja. Dengan tidak hadirnya bupati bersama tiga tergugat lain, sidang tersebut terpaksa ditunda. Artinya apa? Sebulan ke depan, penambangan jalan terus. Perusakan lingkungan jalan terus. Derita masyarakat jalan terus. Benar kata pepatah Latin, Periculum in mora. Bahaya mengintai dalam penundaan.
Kalau demikian cara pandang kita, komentar Emil Sarwani tadi harus diubah. Ketidakhadiran Bupati Rotok pada pesidangan itu bukan lagi ”menjadi tanda tanya besar”, tapi ”menjadi tanda seru besar”. Yakni, bahwa: terhadap masyarakatnya yang sedang menderita dan memperjuangkan keadilan, ia dekat di mata tapi jauh di hati. Padahal, idealnya: dekat di mata, dekat di hati. Minimal, meminjam pepatah: jauh di mata, dekat di hati. Mengecewakan!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 27 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar