Buruknya Kinerja Kejari Ende
Oleh Frans Anggal
PMKRI Cabang Ende mendesak Kajari Ende Marihot Silalahi mundur. Mereka juga desak Kejaksaan Agung RI segera mencopotnya. Marihot Silalahi dinilai gagal. Banyak kasus korupsi tidak terselesaikan. Satu di antara terpaksa diambil alih penanganannya oleh Kejati NTT.
Sikap PMKRI ini didukung anggota DPRD Ende dari Fraksi Demokrat, Arminus Wuni Wasa. Menurut dia, pengambilalihan penanganan kasus oleh Kejati NTT menunjukkan Kajari Silalahi tidak mampu. Karena itu, wajar PMKRI desak dia mundur atau dicopot (Flores Pos Rabu 3 Maret 2010).
Bagi yang tahu rekam jejak Kejari Ende, tuntutan PMKRI masuk akal. Banyak kasus korupsi berulang tahun di lembaga ini. Di antaranya, kasus pembelian alat uji kendaraan di Dishub, dengan kerugian negara Rp1,435 miliar. Kasus pembelian mesin pompa air PDAM, dengan kerugian negara Rp270 juta. Dan, kasus dana APBD yang dipinjamkan kepada pihak ketiga senilai Rp3,5 miliar. Yang terakhir inilah yang penanganannya diambil alih Kejati NTT.
PMKRI dan berbagai elemen civil society di Kabupaten Ende telah berkali-kali menyoroti dan mendesakkan penyelesaian segera semua kasus itu. Namun, seperti kata pepatah, anjing menggonggong, kafilah berlalu. Tampaknya, hanya mendesakkan penyelesaian kasus sudah tidak mempan lagi. Dipandang perlu, mendesakkan pengunduran diri atau pencopotan jabatan si kajari.
Pada banyak kasus, penggantian seorang kepala berdampak positif bagi kinerja lembaga. Kita ambil contoh, dari Kabupaten Manggarai. Begitu Timbul Tamba mengepalai Kejari Ruteng, hasilnya kelihatan. Banyak koruptor masuk ‘hotel prodeo’ di Labe. Contoh lain bisa diambil dari lembaga kepolisian. Polres Lembata dalam kasus pembunuhan Yoakim Langoday dan Polres Ngada dalam kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr.
Saat Polres Lembata dikepalai kapolres lama, kasus Langoday tidak jelas nasibnya. Nasib serupa menimpa kasus Romo Faustin ketika Polres Ngada masih dipimpin kepolres lama. Begitu kedua kapolres diganti, bersamaan dengan diambil alihnya penyidikan oleh Polda NTT, hasilnya langsung kelihatan. Kini kedua kasus sedang dalam persidangan.
Ketiga contoh di atas menunjukkan, kinerja sebuah lembaga penegak hukum sangat bergantung dari kinerja kepala atau pemimpinnya. Lembaga kejaksaan kita sudah bagus. Srukturnya sudah bagus. Sistemnya pun sudah bagus. Yang belum, perilaku aparatnya. Semakin tidak bagus lagi, di bawah kepemimpinan yang tidak kuat. Sebaliknya, di bawah kepemimpinan yang kuat, bukan hanya aparatnya yang jadi bagus, tapi juga keseluruhan dan keutuhan kinerja lembaga. Sebab, kepemimpinan yang kuat dapat mengimbangi kelemahan struktur dan sistem kelembagaan.
Dalam konteks inilah kita melihat Kejari Ende. Kalau lembaga ini buruk kinerjanya, kajarinyalah yang harus disoroti, didorong, didesaki tuntutan. Kalau desakan berkinerja lebih baik tetap tidak dihiraukan, majukan desakan pengunduran diri atau pencopotannya dari jabatan. Masih ada (semoga juga masih banyak) yang jauh lebih mampu dan lebih baik. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Jangan karena kajari seorang, rusak citra selembaga, rusak hukum sedaerah, rusak keadilan sekabupaten.
Karena itu, kita setuju dengan PMKRI. Sebaiknya Kajari Sialahi mengundurkan diri. Kalau ini sulit, karena kita bukan orang Jepang, maka sebaiknya Kejaksaan Agung RI menggantinya dengan yang lain. Yang lebih mampu dan lebih baik. Minimal, seperti Timbul Tamba itulah.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 4 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar