Maraknya Artis Terjuan ke Politik
Oleh Frans Anggal
DPD PDI Perjuangan Sumatera Selatan mendukung Helmy Yahya menjadi bakal calon bupati Ogan Ilir pada pemilukada 5 Juni 2010. Dasar pertimbangannya, Helmy pernah jadi calon wakil gubernur Sumatera Selatan berpasangan dengan Syharial Oesman. Meksi gagal kala itu, Helmy mendapat dukungan suara signifikan di Kabupaten Ogan Ilir (Flores Pos Selasa 2 Maret 2010).
Apa pentingnya berita ini? Helmy Yahya itu seleb. Pebisnis hiburan. Ia satu dari banyak artis yang kini marak terjun ke politik. Sesuatu yang tidak baru sebetulnya. Tahun 1960-an, Bing Slamet jadi anggota DPR-GR. Selanjutnya satu dua artis duduk di DPR. Tapi, semua itu jabatan legislatif.
Jabatan eksekutif? Ini baru. Tahun 2008, Rano Karno terpilih jadi wakil bupati Tengerang, berpasangan dengan Ismet Iskandar. Setahun kemudian, 2009, Dede Yusuf jadi wakil gubernur Jawa Barat, mendampingi Ahmad Heryawan. Tahun 2010, bisa saja Helmy Yahya wakil bupati Ogan Ilir.
Yang baru di sini, tidak baru di luar negeri. Di AS, Ronald Reagan jadi presiden. Arnold Shwarzenegger jadi gubernur California. Di Filipina, Yoseph Estrada jadi presiden. Di Italia, lebih ‘gila’. Bintang film porno jadi anggota parlemen. Anna Ilona Staller namanya alias Cicciolina. Ia diusung Partai Cinta. Pada pemilihan parlemen 1987, ia raih 20 ribu suara, nomor dua terbanyak. Tahun 1992, ia ikut lagi. Tahun 2008 muncul bintang film porno lain, Milly D’Abbraccio.
Kenapa mereka yang begitu-begitu bisa laku, terpilih, dan menggusur para politisi totok? Milly D’Abbraccio punya jawabannya saat diwawancarai Reuters. ”Tiap orang sudah muak dengan wajah para politisi itu …. Mereka ganti nama partai, tapi orangnya sama saja. Masing-masing menjanjikan banyak hal, tapi tak ada yang terjadi.”
Para politisi itu …. Wah, persis seperti di Indonesia. Partainya baru, mukanya lama. Partainya banyak, platformnya sama. Suka kasih janji, tapi gemar ingkar janji. Mudah mengkritik, tapi gampang terkooptasi. Di luar ring mereka lantang, masuk ring mereka bungkam. Sebelum berkuasa mereka memberdayakan, setelah berkuasa mereka memperdayakan. Selagi di bawah mereka mengajar, setelah di atas mereka menghajar.
Jawaban si bintang film porno itu mirip dengan penjelasan pengamat politik dan kebudayaan Indonesia, Ben Anderson (2001). Tentang banyaknya artis terpilih menduduki jabatan politis di Indonesia, Anderson menduga, kesenangan massa rakyat Indonesia terhadap artis itu bukanlah pengidolaan. Fenomena ini lebih mengungkapkan pengingkaran dan rasa muak massa rakyat terhadap elite politik. Sama dengan jawaban Milly D’Abbraccio, bukan? ”Tiap orang sudah muak dengan wajah para politisi ….”
Kemuakan lahir, tentu tidak hanya karena kiprah elite politik. Sebesar apa pun kejahatannya, politisi tidak akan memuakkan kalau publik tidak tahu tentangnya. Publik tidak tahu kalau tidak diberi tahu. Di sini peran media massa sebagai pemberita(hu) sangatlah penting. Terutama televisi. Kalau berita tentang politisi selalu yang buruk-buruk (karena memang suka bikin yang buruk-buruk), bagaimana mungkin citranya positif di mata publik? Kalau beritanya terus-menerus seperti itu, bagaimana mungkin tidak memuakkan?
Ruang kosong yang lahir dari kemuakan publik inilah yang kemudian diisi oleh para entertain. Dan, klop. Berterima. Bagaimana hasilnya nanti, itu soal lain lagi. Boleh jadi, sebagai politisi, para (mantan) artis bakal memuakkan juga. Paling-paling diganti dengan yang lain. Sungguh, kita sedang masuki era baru. Era celebrity politics menurut Darrell West. Hasilnya? Nanti kita lihat.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 3 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar