29 Maret 2010

Karena Faktor ”Anak Bupati”?

Tuntutan Jaksa dalam Kasus Langoday

Oleh Frans Anggal

Setelah perkara pembunuhan Romo Faustin Sega Pr diputus oleh majelis hakim PN Bajawa, Kabupaten Ngada, Kamis 25 Maret 2010, masyarakat Flores-Lembata kini menunggu-nunggu putusan perkara pembunuhan Yoakim Langoday oleh majelis hakim PN Lewoleba, Kabupaten Lembata. Menurut jadwal sidang, pembacaan putusan dilangsungkan 6 April untuk tiga eksekutor dan 7 April untuk dua otak pembunuhan.

Dalam menunggu-nunggu itu, yang menjadi pertanyaan pokok masyarakat bukan hanya bagaimana putusan majelis hakim PN Lewoleba nanti terhadap para terdakwa kasus Langoday, tapi juga bagaimana perbandingannya dengan putusan yang telah dijatuhkan majelis hakim PN Bajawa dalam kasus Romo Faustin.

Pembandingan sulit dielakkan. Kedua kasus itu sama-sama pembunuhan berencana. Kedua jaksa dalam kedua kasus itu sama-sama gunakan pasal 340 KUHP. Pasal ini pun sama-sama dikenakan pada terdakwa otak pembunuhan. Yakni, Theresia Tawa dan Anus Waja dalam kasus Romo Faustin, serta Erni Manuk dan Bambang Trihantara dalam kasus Langoday.

Meski kedua kasus itu punya kesamaan demikian, tuntutan jaksa terhadap terdakwa otak pembunuhan ternyata berbeda. Dalam kasus Romo Faustin, terdakwa Theresia Tawa dan Anus Waja dituntut hukuman penjara seumur hidup. Dalam kasus Langoday, terdakwa Erni Manuk dan Bambang Trihantara dituntut hukuman penjara 20 tahun.

Kenapa bisa beda jauh begini? Ketika masyarakat mempertanyakan hal ini, Kajari Lewoleba hanya bilang, tuntutan itu ditetapkan oleh Kejati NTT di Kupang. Ini jawaban yang bukan jawaban. Kalaupun semua tuntutan ditetapkan oleh kejati, alasan pembedaan satu dengan lainnya harus ada. Harus tepat. Dan harus disampaikan kepada publik. Ini yang tidak dipenuhi Kejari Lewoleba. Terkesan, kejari hanya bonekanya kejati.

Karena kejari tidak bisa memenuhi hak publik untuk tahu, publik pun membaca pembedaan itu sebagai diskriminasi. Bacaan publik: tuntutannya hanya 20 tahun penjara karena salah satu terdakwanya, Erni Manuk, anak Andreas Duli Manuk, bupati Lembata (Flores Pos Sabtu 27 Maret 2010). Terimplisit di sini: seandainya Erni itu anak orang kampung, seperti Theresia Tawa dan Anus Waja dalam kasus Romo Faustin, ia dan Bambang Trihantara pasti dituntut hukuman penjara seumur hidup.

Selama Kejari Lewoleba tidak menjelaskan dasar yang tepat menjawabi pertanyaan publik itu, keyakinan publik akan tetap bertahan, bahkan akan semakin menggumpal. Bahwa, faktor ”anak bupati” itulah yang mempengaruhi bahkan menentukan tuntutan jaksa. Kalau benar itu faktornya, Kejari Lewoleba telah gagal sebagai institusi sebuah negara hukum.

Dalam negara hukum, jaksa itu wakil negara (state). Hubungannya dengan warga (citizen) hanya boleh dalam wilayah kerja hukum. Maka, di matanya, warga itu hanya dilihat sejauh mana bertindak kriminal atau tidak. Karena itu, hanya ada dua jenis warga: yang taat hukum dan yang langgar hukum. Yang langgar hukum wajib dituntutnya. Besar kecilnya tuntutan hanya berdasarkan delik, bukan berdasarkan hal-hal non-delik seperti anak bupati atau bukan.

Kalau Kejari Lewoleba telah gagal, harapan satu-satunya kini tinggal PN Lewoleba. Maka, masyarakat Flores-Lembata menunggu-nunggu seperti apakah putusannya nanti. Apakah sama dengan tuntutan jaksa? Ataukah lebih tinggi? Ataukah lebih rendah? Apa pun putusannya, itu akan menentukan seperti apakah PN Lewoleba di mata publik.

“Bentara” FLORES POS, Senin 29 Maret 2010

Tidak ada komentar: