Pol PP Lembata Keroyok Wara
Oleh Frans Anggal
Di Lewoleba, Lembata, seorang pemuda, Flavianus Gevali alias Diki (21), dikeroyok Polisi Pamong Praja (Pol PP). Diki bersama temannya mengendarai sepeda motor. Mereka berpapasan dengan mobil patroli Pol PP. Salah seorang di mobil itu dikenal Diki, keluarganya, biasa disapa Polo. Diki pun menyapanya, ”Polo!” Anggota lain berang, lalu turun dari mobil. ”Kau omong apa tadi?” Belum sempat menjawab, Diki mereka hajar. Mereka salah dengar. ”Polo” mereka dengar sebagai ”Bodoh” (Flores Pos Kamis 11 Februari 2010).
Sapanya ”Polo”, dengarnya ”Bodoh”. Siapa yang bodoh? Bukan yang sapa, tentu. Bukan Diki. Tapi yang dengar atau, lebih tepat, yang salah dengar. Anggota Pol PP. Mereka tidak hanya bodoh dalam mendengar, tapi juga bodoh dalam bereaksi. Awalnya wajar, mereka minta klarifikasi: ”Kau omong apa tadi?” Sayang, ujungnya kurang ajar. Belum sempat menjawab, Diki mereka hajar, keroyok.
Kalau tidak bodoh, anggota Pol PP itu tentu tidak akan main hakim sendiri. Ada seribu satu cara selesaikan sengketa. Asal, pakai otak. Bukan pakai otot. Kalau pakai otot, kasus lama lahirkan kasus baru. Kasus kecil munculkan kasus besar. Itu yang terjadi. Awalnya hanya salah dengar. Kasus kecil. Tapi karena Pol PP pakai ’pendekatan otot’, yang kecil ini jadi besar. Kasus penganiayaan. Maka, dilaporkan ke polisi.
Karena anak buahnya dilaporkan ke polisi, si ’bapak buah’ Kasat Pol PP Markus Lela Udak dekati keluarga Diki. Ia minta penyelesaian kekeluargaan. ”Saya sudah melakukan pendekatan secara kekeluargaan, namun pihak keluarga korban belum pastikan apakah urus secara kekeluargaan atau proses hukum.”
Hak Diki dan orangtuanya, terima atau tolak permintaan itu. Kalau mereka terima, itu kerahiman. Kalau mereka tolak, itu keadilan. Keadilan hukum. Hak mereka. Karena ini negara hukum, bukan rimba raya binatang buas. Proses hukum perlu, demi tegaknya keadilan. Juga berguna, demi jelasnya persoalan. Siapa bersalah, apa bentuk kesalahannya, dan apa bentuk hukumannya.
Dengan begitu, perdamaian bukannya dinafikan. Perdamaian perlu dan berguna. Asalkan yang benar. Bukan murahan. Dua syarat harus dipenuhi. Adanya pengakuan kesalahan di satu sisi, dan pengampunan di sisi lain. Tanpa pengakuan, tak ada pengampunan. Sekadar analogi, grasi dari presiden hanya diberikan kepada orang yang oleh pengadilan telah ditetapkan bentuk kesalahan dan hukumannya. Grasi tidak mungkin diberikan kepada orang yang tidak jelas kesalahannya atau yang tidak bersalah sama sekali.
Prinsipnya di sini: adil dulu baru damai. Dalam kasus Diki vs Pol PP, prinsip ini perlu dimenangkan. Karena, kasus ini bukan sekadar kasus orang per orang. Bukan kasus warga vs warga. Ini kasus warga vs negara. Tepatnya, kasus kekerasan (aparat) negara terhadap warga. Ranah kasusnya ranah publik. Aneh bin janggal kalau kasus di ranah pubik ini dibawa masuk ke ranah privat untuk diselesaikan secara privat. Diselesiakan secara kekeluargaan.
Atas dasar inilah kita menyalahkan penyelesaian yang diperjuangkan si ’bapak buah’ Kasat Pol PP Markus Lela Udak. Damai oke-oke saja, tapi proses hukum dululah. Adil dulu baru bisa damai. Lagi pula, yang bikin hukum itu negara. Masa, (aparat) negara lagi yang kasih teladan buruk kepada warga untuk tidak hargai (proses) hukum. Yang benar saja.
Selain salah, si ’bapak buah’ ini juga aneh. Kepada pers dia bilang tidak tahu kasusnya apa. Sebab, saat kejadian, dia masih di Jakarta. Dia pun belum dapat laporannya dari staf. Aneh, dalam ketidaktahuannya, dia usahakan penyelesaian damai. Ini perdamaian macam apa? Perdamaian murahan. Ini kita tolak.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 12 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar