Kasus DBD di Sikka
Oleh Frans Anggal
Kota Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, dinyatakan sebagai zona merah kasus demam berdarah dengue (DBD). Dari 283 kasus DBD, 5 orang meninggal selama Januari sampai dengan 10 Februari 2010 berasal dari kota Maumere. Begitu kata Kadiskes Sikka Delly Pasande (Flores Pos Jumat 12 Februari 2010).
Peningkatan status ini berlangsung begitu cepat. Hanya dalam seminggu. Bahkan hanya dalam tiga hari. Selasa 9 Februari, kadiskes bilang DBD di Sikka belum masuk kategori kejadian luar biasa (KLB). Keesokannya, Rabu 10 Februari, Sikka dinyatakan KLB DBD. Keesokannya lagi, Kamis 11 Februari, ibu kota kabupatennya, Maumere, dinyatakan masuk zona merah DBD.
Benar-benar ”drama tiga hari”. Ful ketoprak humor. Lucu dan penuh kejutan. Ini cerminan apa? Manajemen tidak becus. Dalam hal ini, manajemen risiko dan pengkomunikasian risiko (risk communication). Telah terjadi kekeliruan dalam persepsi risiko. Yaitu, penilaian tentang kemungkinan terjadinya kerugian kesehatan fisik atau mental. Khususnya, di sini, kemungkinan terjadinya KLB atau wabah penyakit menular demam berdarah.
Coba simak fakta dan data Selasa 9 Februari. Fakta: pasien DBD di RSUD Maumere membludak. Nyaris tidak tertampung. Data: dari Januari hingga 8 Februari, ’jumlah kesakitan’ (morbidity rate) sudah mencapai 130 lebih, ’jumlah kematian’ (mortality rate) sudah mencapai 7. Apa kata kadiskes? ”Sikka belum KLB DBD. Memang ada potensi KLB, tapi belum bisa dikatakan sebagai wabah.”
Eh, keesokannya, hanya berselang sehari, Sikka dinyatakan KLB DBD. Hari ini ”belum apa-apa”, besoknya ”sudah apa-apa”. Kadiskes ”tertangkap basah” lakukan kesalahan. Kesalahannya adalah pemerkiraan risiko yang terlalu kecil (under-estimate risk perception). Kenapa? Patut dapat diduga, ini karena laporan data tidak akurat atau tidak transparan.
Soal data ini, wartawan Flores Pos Wall Abulat dalam laporannya menyebutkan, jumlah kematian periode Januari sampai dengan 11 Februari berbeda antara data Flores Pos dan data dinas kesehatan. Menurut data Flores Pos, 8 meninggal. Menurut data dinas kesehatan, 5 meninggal. “Korting”-nya 3 orang memang! Kalau data dinas yang tepat, syukurlah. Berarti 3 orang itu masih hidup. Dan semoga mereka panjang umur setelah “vonis” mati yang keliru itu.
Namun, soal data-mendata, siapa tidak kenal “Indopahit” (Indonesia keturunan Majapahit, Indonesia penuh kepahitan). Bangsa kita, termasuk (atau terutama?) birokrasinya sangat menjaga roman muka, fasade, ritual performance. Wajah, bendera, citra, tidak boleh ketahuan cacat. Kalau sampai ketahuan orang, ”Di mana mukaku harus kusembunyikan?” Muka penting, lebih daripada otak dan hati. Malu penting, lebih daripada benar dan baik. Yang psikologis nomor satu. Yang etis nomor dua, bila perlu nomor buntut.
Dengan budaya seperti ini (‘budaya rasa malu’ shame culture mengalahkan ‘budaya rasa bersalah’ guilt culture), apa yang terjadi dengan DBD yang “memalukan” itu? Karena DBD memalukan pemerintah, mendatangkan kredit poin buruk bagi dinas kesehatan terutama kadisnya, maka pendataannya oleh anak buah harus “sedemikian rupa” memperhitungkan wajah, bendera, dan citra itu tadi. Caranya: temuan memalukan ditutupi, direduksi, dibantah. Sebab, ”Di mana muka kita harus kita sembunyikan” kalau daerah kita KLB DBD?
Kita berharap birokrasi jujur dengan fakta. Jujur dengan data. Dalam bidang kesehatan, apalagi. Risikonya nyawa manusia. Data yang akurat (baca: jujur) akan membantu akurasi persepsi risiko. Membantu manajemen risiko dan membantu pengkomunikasian risiko. Dengan begitu, “drama tiga hari” ala Sikka tidak perlu dipentas ulang.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 13 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar