Ketika Manusia Menggigit Sesamanya
Oleh Frans Anggal
Kasus rabies di Boganatar, Kabupaten Sikka, hebohkan warga. Tidak hanya anjing yang menggigit warga. Manusia juga menggigit sesamanya. Itu terjadi pada Marselina Rikardo, 9 tahun. Sebelum meninggal, pasien rabies ini menggigit tujuh warga setempat , termasuk ibu kandungnya (Flores Pos Sabtu 20 Februari 2010).
Begitulah rabies, kalau sudah sampai di otak. Manusia korbannya bertingkah mirip anjing. Galak, menyerang, menggigit. Karena itu, sebenarnya padanan tepat untuk rabies bukan penyakit anjing gila (karena yang gila bukan hanya anjing), tapi penyakit gila anjing (karena gilanya seperti gilanya anjing). Karena itu pula, yang harus ditakuti bukan hanya HPR (hewan penular rabies), tapi juga MPR (manusia penular rabies).
Dari caranya mempertahankan hidup, rabies itu virus paling cerdas di dunia. Bayangkan: makanan pokoknya saraf otak korban. Kalau otak mati (korban mati), virus itu juga mati. Maka, sebelum korban mati, si virus harus sudah berpindah ke korban (otak) lain. Caranya? Ini yang canggih. Si virus menguasai, mengendalikan, mendikte otak korban. Ia jadi bos pemberi instruksi.
Demi kelangsungan hidupnya, si virus instruksian beberapa hal ke otak korban. Instruksi pertama: produksilah air liur sebanyak-banyaknya! Maka, mulut korban berlelehan air liur. Kenapa? Air liur inilah kendaraan virus menuju korban berikutnya. Karena kendaraannya air liur, maka instruksi kedua: gigitlah korban berikut! Maka, (di mana-mana) HPR dan (di Boganatar) MPR pun menggigit.
Kenapa harus menggigit? Dengan menggigit, terjadi dua hal. Pertama, luka pada korban. Kedua, kontak antara luka dan air liur penggigit. Luka inilah gerbang bagi rabies, si penumpang air liur, menuju otak. Agar jalan ke otak lebih ringkas, penggigit selalu mengincar bagian wajah korban, kalau bisa.
Agar sukses menggigit, instruksi keempat: hindari cahaya! Maka, korban rabies takut akan cahaya. Kenapa? Cahaya hasilkan terang. Di bawah terang segala yang buruk mudah diketahui, dicegah, diakhiri. Si virus tidak mau mati bodoh gara-gara terang. Ia pilih gelap. Dalam gelap, serangan dan gigitan jadi mudah. Dalam gelap, korban sulit antispasi. Tak heran, gigitan sering terjadi malam hari.
Satu lagi, instruksi ketiga: hindari air! Maka, korban rabies takut akan air. Kenapa? Virus ini mudah terhanyut air. Makanya, petugas kesehatan kasih tip: setelah tergigit, segeralah cuci luka dengan air mengalir. Rabies tahu bahaya air. Ia lakukan cegah dini. Ia perintahkan otak agar korbannya menghindari air.
Kita membenci rabies. Ia perenggut jiwa. Tapi kita juga kagumi kecerdasannya, sambil ngeri dibuatnya. Ia bertakhta di otak, hidup dari otak, dengan memakan otak. Demi kelangsungan hidupnya, ia kuasai dan kendalikan otak. Ia tuan atas otak.
Tak ada virus sepintar busuk ini. Kecuali, yang satu ini. Virus pemerintahan. Yakni, pemerintahan (Yunani: cratos) yang cara kerjanya mirip cara rabies. Kita namakan saja ”rabiestokrasi”. Seperti rabies, demi kelanggengan kekuasaannya, rabiestokrasi kendalikan pikiran dan ingatan publik. Virusnya ditularkan lewat ’gigitan’ sosialisasi, instruksi, publikasi, pencitraan, dll . Seperti rabies, rabiestokrasi takut akan air: takut akan pembersihan. Seperti rabies, rabiestokrasi takut akan cahaya: takut akan transparansi. Sebaliknya, seperti rabies, rabiestokrasi doyani kegelapan. Sebab, dalam gelap, segala-galanya mudah diatur.
Di Flores, dua-duanya hidup. Rukun dan damai. Rabies, di tingkat bawah. Rabiestokrasi, di tingkat atas. Rabies dibiarkan terus. Rabiestokrasi dipelihara terus. Hasilnya luar biasa. Yang di bawah mati terus. Yang di atas hidup terus.
“Bentara” FLORES POS, Senin 22 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar