Ketika Sumber Air Tawar Ditemukan
Oleh Frans Anggal
Pengeboran air di Pulau Ende berhasil temukan air tawar. Awalnya, air yang keluar itu keruh. Lama-lama jernih. Sampel air sudah diuji di Laboratorium Dinkes. Hasinya: air itu memenuhi syarat kesehatan dan layak digunakan sebagai air bersih (Flores Pos Rabu 3 Februari 2010).
Ini perisiwa penting. Pulau Ende dikenal unik. Seratus persen warganya Islam. Pulau ini pulau tanpa mobil. Dan, terutama, pulau tanpa sumber air tawar. Dulu, ada kapal tanki air, disiapkan pemerintah. Rusak. Sejak itu, warga angkut sendiri air dari Pulau Flores, pakai perahu motor. Dengan ditemukannya sumber air tawar, atribut ”pulau tanpa sumber air tawar” pun berakhir.
Peristiwa ini juga penting, karena inisiatif, pencarian, dan pengeboran dilakukan sendiri oleh warga. Mereka gunakan peralatan minim. Sudah pasti, dengan anggaran minim pula. Mereka tidak pake tender. Tidak pake mark up (penggelembungan anggaran) yang menguras APBD. Dan karenanya pula, tidak perlu jadi tersangka tindak pidana korupsi, seperti nasib bapak-bapak pejabat.
Wajar dan pantas mereka berbangga. Sebagai saudara, kita ikut bangga. Namun, jauh di lubuk hati, kita juga prihatin. Bagaimana tidak. Untung saja usaha mereka ini berhasil. Kalau tidak? Pulau Ende akan tetap sebagai pulau tanpa sumber air tawar. Atribut ini tidak cukup dieja secara faktual. Perlu juga dieja secara evaluatif. Bahwa, kalau usaha mereka gagal, Pulau Ende akan tetap sebagai pulau yang kebutuhan air bersihnya tidak diperhatikan pemerintah.
Kasarnya, atau lebih tepat jujurnya, diterlantarkan. Sudah dari dulu. Apa yang disebut hidup merdeka nyaris tidak ada pengaruhnya. Dalam hal ketersediaan air bersih, warga Pulau Ende belum bebas dari kemiskinan atau kekurangan (freedom from what). Artinya apa? Substansi penyelenggaraan pemerintahan tidak berubah dari dulu sampai sekarang. Dari bupati ke bupati, penyelenggaraannya masih tetap menitikberatkan kepentingan negara (state heavy) ketimbang kepentingan masyarakat (society oriented).
Sosiolog Ignas Kleden, dalam “Indonesia Setelah Lima Tahun Reformasi” (2003), menyebutkan beberapa contoh. Warga harus bayar pajak, tapi tidak harus dapat tunjangan pengangguran. Warga harus bayar listrik, tapi tidak harus dapat ganti rugi kalau listriknya sering mati. Penduduk harus punya KTP jika tidak ingin dikejar petugas, tetapi penduduk yang sah dengan KTP tidak dapat bantuan kalau terkena bencana banjir.
Contoh-contoh itu, bisa ditambahkan dengan banyak contoh lain, menunjukkan satu hal. Bahwa, hingga era reformasi pun, kewajiban warga terhadap negara masih dan tetap saja lebih ditekankan ketimbang kewajiban negara terhadap warga. Semboyan “demi kepentingan bangsa dan negara” belum diimbangi semboyan “demi kepentingan rakyat dan masyarakat”.
Khusus bagi Pemkab Ende. Kisah Pulau Ende temukan sumber air tawar kiranya jadi titik teguh pembalikan paradigma penyelenggaraan pemerintahan. Dari state heavy ke society oriented. Secara teoritik, tak ada soal. Bupati-wabup Don Bosco M Wangge dan Achmad Mochdar sudah ikrarkan kredo sejak dilantik. Pelayanan masyarakat adalah kunci keberhasilan birokrasi. Tinggal pelaksanaannya. Ini yang biasanya repot. Setan suka muncul di sini.
Demi warga, setan apa pun harus dilawan. Nah, sekarang, apa yang bisa segera dilakukan pemkab, “demi kepentingan rakyat dan masyarakat” Pulau Ende, setelah warganya berhasil temukan sumber air tawar atas swadaya mereka sendiri? Tidak cukup hanya ikut gembira, bangga, dan nonton, bukan?
“Bentara” FLORES POS, Kamia 4 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar