Kekerasan terhadap Anak di Flores
Oleh Frans Anggal
Dalam sebuah edisinya, Jumat 5 Februari 2010, Flores Pos wartakan dua kasus kekerasan seksual terhadap anak. Kasus pertama, terjadi di Kabupaten Manggarai Timur. Kepala sekolah sebuah SD memperkosa muridnya sendiri. Kasus kedua, terjadi di Kabupaten Ende. Seorang siswi SMP dicabuli ayah tirinya. Kedua kasus ini sudah dilaporkan ke polisi. Kini sedang dalam proses penyidikan.
Dua kasus ini, kasus yang terungkap. Yang tak terungkap, lebih banyak. Tak terungkap, karena berbagai faktor. Terbesar, faktor budaya: menganggap mengungkap kasus sama dengan membuka aib. ”Taruh di mana mukaku kalau orang tahu?” Muka lebih penting ketimbang otak dan hati. Malu lebih tinggi ketimbang benar dan baik. Sifat psikologis lebih utama ketimbang sifat moral.
Kita hidup dalam budaya seperti ini. Tak heran, banyak kasus kekerasan seksual didiamkan. Ini ’menguntungkan’ lelaki sebagai—maaf--predator. Perempuan hanya berkeluh dalam diam: ”Mangsa aku dalam cakarmu.” Alhasil, kekerasan seksual tetap marak, untuk tidak mengatakan semakin menjadi-jadi.
Kepala Delegasi Komisi Eropa Julian Wilson, dalam acara 20 Tahun Peringatan Konvensi Hak-Hak Anak, di Hotel Le Meredien, Jakarta, 20 November 2009, singkapkan fakta. Lebih dari 200 juta anak di dunia jadi korban kekerasan seksual. Taruhlah 200 juta itu puncak gunung es, berapa banyak yang masih tersembunyi sebagai badan gunung di bawah laut? Berapa pun itu, persentase terbesar ada pada negara yang utamakan ‘budaya rasa malu’ (shame culture) ketimbang ‘budaya rasa bersalah’ (guilt culture). Indonesia di antaranya.
Malah, bisa jadi, tidak sekadar salah satunya, Indonesia juga juara satunya. Dibanding dengan bangsa lain, bangsa kita sangat utamakan roman muka, fasade, ritual performance. Wajah, bendera, citra, gelar, itulah yang penting. Dan, semua orang sepertinya menerimanya sebagai hal biasa. Malah, bukan sekadar “begitu sudah”, tapi “begitu memang”. Alias, sudah seharusnya begitu.
Budayawan YB Mangunwiya (1981) pernah kasih contoh. Anak Pak Lurah menghamili babu. Seluruh kampung tahu, tapi pura-pura tidak tahu. Maka, Pak Lurah, yang juga pura-pura menganggap warga kampung tidak tahu, menikahkan sang babu dengan sopirnya. Tanggapan warga kampung? Meski tahu si bayi dalam kandungan sang babu itu berasal dari benih putra nakal Pak Lurah, mereka serius dan gembira “mendoa-restukan” pernikahan itu, atas biaya Pak Lurah. Jadilah, “semua beres”. Pak Lurah “luput” dari aib.
Bangsa kita merdeka sejak 1945. Sudah 64 tahun lebih. Sayang, hanya merdeka dari kungkungan penjajah. Belum merdeka dari kungkungan budaya malu, budaya roman muka, budaya fasade, budaya ritual performance. Dalam kasus Pak Lurah, ini “menguntungkan” laki-laki. Dengan kata lain, mengukuhkan budaya patriarki yang sudah lama berakar. Kalau ditelisik lebih jauh, kiat bebas aib ala Pal Lurah sebenarnya juga konstruksi dari budaya patriarki itu sendiri.
Dalam kasus Pak Lurah, dengan latar masyarakat yang masih terkungkung budaya malu, si babu yang adalah juga ‘produk’ budaya masyarakatnya, sulit memperjuangkan atau diperjuangkan haknya melalui proses hukum. Banyak perempuan korban kekerasan seksual bernasib begitu. Anak-anak, apalagi.
Dalam perspektif inilah kita dukung langkah hukum dua kasus yang diberitakan Flores Pos. Ini salah satu cara mengikis budaya patriarki. Sayang, banyak aparat penegak hukum tidak serius. Seperti Pak Lurah dll, mereka belum menjadi hamba hukum. Mereka masih menjadi hamba budaya patriarki. Apakah karena kebanyakan mereka laki-laki?
“Bentara” FLORES POS, Senin 8 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar