Ende dalam Sehari: Darah dan Airmata
Oleh Frans Anggal
Sengketa tanah di kota Ende, Selasa 26 Januari 2010, penuh darah dan airmata. Darah bersimbah, di luar kota, di Lokoboko, Kecamatan Ndona. Airmata bercucuran, dalam kota, di Paupire, Kacamatan Ende Tengah.
Di Lokoboko, Akbar Amir (64), tewas dibacok. Keponakan kandungnya, Umar Hasan Kota (37), terpotong dua jari tangan kanannya. Pelakunya belum diketahui, sedang dalam pencarian polisi. Di Paupire, puluhan warga, penghuni 11 rumah di atas lahan 3.912 meter persegi, menelan kepedihan. Rumah dan tanaman mereka digusur excavator. Pelakunya aparat negara.
Darah di Lokoboko bersimbah oleh tindakan main hakim sendiri lawan sengketa. Airmata di Paupire bercucuran oleh tindakan pro iustitia eksekusi. Darah di Lokoboko mengawali kasus baru tindak pidana, di tengah kasus lama sengketa tanah yang belum kunjung usai. Airmata di Paupire membuka babak baru hidup pemenang dan pecundang, setelah sengketa panjang berujung putus final.
Dengan lain kata, kasus hukum Lokoboko masih akan berlanjut, entah sampai kapan. Sedangkan kasus hukum Paupire dipastikan tamatlah riwayatnya. Setelah ada yang menang, ada yang kalah. Lewat putusan dan pelaksanaan putusan. Begitulah solusi meja hijau. Tak ada menang-menang (win-win solution). Yang ada cuma menang-kalah (win-lose solution). Olehnya, yang menang bersuka. Yang kalah menelan duka.
Dalam penyelesaian seperti itu, wajah hukum tampak seram. Dura lex, sed lex, kata adagium Latin. ‘Hukum memang keras, tetapi itulah hukum’. Bahkan sedemikian kerasnya, sampai-sampai demi tegaknya keadilan, hukum sepertinya tega mempersetankan segala akibat. Fiat iustitia ruat caelum, bunyi adagiumnya. ‘Hendaklah keadilan ditegakkan walau langit akan runtuh’. Ini ucapan Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM). Atau, versi adaptasinya, Fiat iustitia pereat mundus. ‘Hendaklah keadilan ditegakkan meski dunia harus binasa’. Ini ucapan Ferdinand I, Raja Hungaria dan Bohemia 1558-1564.
Di hadapan hukum begini, duka yang kalah di Paupire tak terperikan. Demi tegaknya keadilan, 11 rumah mereka dirubuhkan. Puluhan tanaman mereka ditumbangkan. Oleh excavator, mesin baja sekeras hukum itu, semuanya rata tanah. Yang kalah merasa seperti kiamat. Seakan ruat caelum, langit runtuh. Seolah pereat mundus, bumi binasa. Dan ketika wajah mereka kita tatap dengan hati manusia, apa yang kita lihat? Penderitaan!
Kata-kata filosof Emmanuel Levinas seakan terngiang kembali. Levinas pernah bilang: penderitaan baru melepaskan selubungnya, bila penderitaan itu tertera pada wajah sesama manusia. Pada saat itulah, kata Levinas, terbukalah alam transenden. Sebuah dimensi baru mulai tampak, ketika wajah sesama manusia manantang kita, berseru kepada kita.
Lalu, apa manfaatnya bagi kita? Tatkala penderitaan itu tersingkap selubungnya lewat wajah sesama kita? Filosof CA van Peursen memberikan jawaban singkat tapi jelas. Menemukan penderitaan, kata van Peursen, dapat menolong kita. Untuk berbuat sesuatu. Untuk merombak suatu situasi. Singkatnya, untuk melaksanakan pembebasan.
Kita alamatkan pesan ini ke Pemkab Ende. Tataplah wajah-wajah kalah di Paupire. Wajah penuh derita. Mereka kehilangan rumah. Kehilangan pusat dinamika dasar eksistensi mereka sebagai manusia untuk pergi dan pulang. Oleh hukum sekeras baja excavator, mereka tercerabut dari tempatnya berakar. Lalu terlempar ke dalam keterasingan. Tapi mereka tetap manusia. Tetap warga Kabupaten Ende. Maka, atas nama kemanusiaan, yang tidak cukup hanya adil tapi juga harus beradab, mereka perlu dibantu.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 28 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar