Penerima Yap Thiam Hien Award 2009
Oleh Frans Anggal
Seorang imam asal Manggarai, Flores, yang berkarya di tanah Papua, menerima Yap Thiam Hien Award Tahun 2009. Dia, Romo Johanes Jonga Pr, 51 tahun. Demikian warta Flores Pos Sabtu 16 Januari 2010.
Anugerah Yap Thiam Hien diberikan tiap tahun. Yang jadi patokan utama untuk dapat ikut dinilai atau dipertimbangkan sebagai calon penerima adalah: sang calon harus punya prestasi sebagai seorang pejuang di bidang hukum, kemanusiaan, HAM, kebenaran, dan keadilan, yang dirasakan telah ikut menjadi penerus perjuangan Yap Thiam Hien.
Yap Thiam Hien lahir di Aceh 25 Mei 1913 dan meninggal di Brusel, Belgia, 25 April 1989 pada usia 75 tahun. Dia seorang pengacara. Dia mengabdikan seluruh hidupnya demi menegakkan HAM, hukum, kebenaran, dan keadilan di Indonesia. Ia nasionalis sejati. Dan kesejatian nasionalisme itu tidak dapat dikaitkan dengan nama yang disandang. Karena itu, ia tidak mengganti nama Tionghoa-nya, meski diwajibkan oleh pemerintah Orde Baru.
Romo John Jonga menerima anugerah ini di Jakarta, 10 Desember 2009. Bertepatan dengan Hari HAM Sedunia. Ia dinilai layak. Dia pejuang HAM di Papua. Dia miliki dedikasi, komitmen, dan kredibilitas luar biasa dalam pembelaan dan perlindungan HAM masyarakat di provinsi tersebut.
Kendati penuhi kriteria kelas wahid itu, Romo John tetap merendah. Meski unggul sisihkan banyak kandidat kelas kakap, ia tidak jadi angkuh. Ia melihat apa yang dilakukannya itu hal yang biasa saja. “Aktivitas saya adalah hal biasa. Tetapi karena setiap kegiatan kecil direkam wartawan dan diwartakan ke publik, maka ada lembaga lain yang tahu dan memilih saya untuk menerima anugerah ini.”
Bahwa publikasi itu besar dampaknya, ya. Tapi, kenapa hal luar biasa menurut Panitia Yap Thiam Hien dan kebanyakan orang, justru dipandang Romo John sebagai hal biasa saja? Jawabannya sudah lama ada. Bahkan sudah sejak ia ditahbiskan 14 Oktober 2001 oleh Uskup Jayapura Mgr Leo Laba Ladjar OFM.
Menurut Romo John, apa yang dilakukannya merupakan hal yang sudah seharusnya dilakukan oleh semua kaum tertahbis. Jadi, tidak luar biasa. Itu tunaian tugas. Sebagai imam, ia dipanggil untuk berkarya bagi semua orang, tanpa sekat imajiner yang diciptakan oleh berbagai kepentingan. Dalam berkarya, persoalan sosial harus jadi yang terdepan. ”Karya pastoral tidak terbatas pada perayaan ekaristi,” katanya suatu ketika. ”Imam harus turut terlibat dalam keprihatinan dasar manusia.” Altar imam adalah altar kehidupan masyarakat. Tidak sekadar altar di gedung-gedung gereja.
Dengan penghayatan dan komitmen seperti ini, selaku gembala umat, Romo John sedang berjuang menjejaki kepemimpinan Yesus. Seperti diulas Fritz Loebinger (1999), Yesus miliki visi kepemimpinan sangat jelas: terwujudnya Kerajaan Allah, yang merupakan pelaksanaan kehendak Bapa yang mengutus-Nya. Yesus berkomitmen sangat kuat melaksanakannya bahkan sampai rela menderita dan wafat di salib. Yesus tak biarkan keadaan manusia sebagaimana adanya. Yesus serentak memimpin dan melayani. Yesus menolak godaan setan. Yesus jadikan diri-Nya sederajat di antara para murid. Yesus membasuh kaki orang-orang yang dipimpin-Nya. Yesus memimpin dan mengajar para murid-Nya untuk tidak menguasai orang lain.
Seperti Papua, Flores dan pulau se-Nusantara butuhkan kepemimpinan seperti ini. Tidak untuk meraih Yap Thiam Hien Award. Tidak. Lebih daripada itu. Untuk tegaknya kebenaran, keadilan, kedamaian, dan keutuhan ciptaan.
“Bentara” FLORES POS, Senin 18 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar