Rencana Penggantian Nama Bandara
Oleh Frans Anggal
Rencana penggantian nama Bandara Waioti di Kabupaten Sikka makin ruwet saja. Semula, hanya dua calon nama yang diperdebatkan. Frans Seda ataukah Don Thomas. Sekarang muncul calon nama ’baru’ tapi ’lama’. Waioti. Wai = sungai, oti = biawak.
Usulan ini dilontarkan John Mansford Prior lewat opininya ”What’s in a Name” pada Flores Pos Senin 25 Januari 2010. Menurut imam dan dosen STFK Ledalero ini, dilihat dari sisi ekologis, nama Waioti itu manis dan patut dipertahankan.
”Waioti dapat mengingatkan kita akan pentingnya sikap dasar hidup ramah, pesona, dan takzim pada alam. Itu adalah sikap dasar yang melahirkan keyakinan, ikhtiar, dan kerja keras untuk menghijaukan dan menyuburkan kembali bumi wilayah Kabupaten Maumere, rumah kita.”
Ia tampak sengaja sebut ’Kabupaten Maumere’, bukan ’ Kabupaten Sikka’, sebagai ’rumah kita’. Entah apa maksudnya. Terlepas dari teka-teki itu, John Prior berikan pendasaran baru. Pendasaran ekologis. Kalau dasar ini kita gunakan secara murni dan konsekuen, banyak nama asli bandara harus dipertahankan. Dengan kensekuensi, nama babtisan baru patut disesalkan.
Nama bandara di Ruteng, Manggarai, misalnya. Aslinya, Satar Tacik. Satar = padang. Tacik = laut. Diubah jadi Frans Sales Lega: bupati kedua, visioner, tegas, dan mampu gerakkan swadaya masyarakat dalam pembangunan, termasuk dalam membangun bandara tersebut. Kalau pake pertimbangan ekologis tadi, Satar Tacik itu manis, semanis Waioti, dan karenanya layak dipertahankan. Penggantian nama jadi Frans Sales Lega patut disayangkan.
Itu kalau pendasarannya ekologis. Namun, ekologi bukan satu-satunya dasar. Ada pendasaran lain, di atasnya pilihan nama baru dapat berterima. Umumnya orang gunakan pendasaran ketokohan seseorang. Entah sebagai pahlawan ataukah penjasa. Kita belum tahu persis, muatan apa yang ada dalam usulan nama Frans Seda atau Don Thomas untuk gantikan Waioti.
Kalau sebagai penjasa, nama yang layak menurut John Prior adalah Kapten Tasuku Sato. Petinggi penjajah militer Jepang inilah yang rencanakan pembukaan Landasan Udara Waioti, supaya Jepang bisa duduki Flores dengan lebih mudah. Kalau sebagai pahlawan, nama yang layak adalah “para pekerja, para kuli, rakyat jelata dari wilayah Maumere yang dimobilisasi, dikerjapaksakan, kerja rodi, yakni para korban rejim kala itu. Ada yang jarinya dipotong, lain dipukul, lain lagi dijemur di terik matahari.”
Secara tersirat, John Prior bedakan penjasa dan pahlawan. Penjasa adalah orang yang berikan jasa khusus. Sedangkan pahlawan adalah orang yang berikan pengorbanan khusus. Berjasa berarti memberikan sesuatu, sedangkan berkorban berarti kehilangan sesuatu. Dengan pengertian ini, Frans Seda dan Don Thomas jelas bukan pahlawan, tapi ‘cuma’ penjasa.
Apakah tunggu jadi pahlawan dulu barulah seseorang boleh diabadikan namanya? Tentu tidak. Leonardo da Vinci bukan pahlawan, tapi namanya jadi nama bandara di Roma. John F Kennedy bukan pahlawan, tapi namanya jadi nama bandara di New York. Jadi, tidak hanya pahlawan, penjasa juga pantas. Jasanya pun tidak mesti berkenaan dengan bandara. Leonardo da Vinci tidak pernah berurusan dengan bandara, tapi namanya diabadikan di bandara. Tentu ada pendasaran dan kriterianya, yang berterima oleh publik.
Inilah yang perlu dipikirkan Pemkab Sikka. Merumuskan pendasaran dan kriteria yang berterima oleh publik. Adapun opini John Prior sangat bermanfaat, sebagai verifikasi. Ibaratnya menyepuh emas dalam tanur api. Agar murni karena teruji.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 26 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar