17 Januari 2010

Frans Seda dan Gus Dur

Berpulangnya Dua Tokoh

Oleh Frans Anggal

Frans Seda dan Gus Dur berpulang. Frans Seda: putra Flores, Katolik, mantan menteri era Soekarno dan Soeharto. Gus Dur: putra Jawa, Islam, mantan presiden RI. Oleh atribut itu, keduanya berbeda. Oleh atribut lain, keduanya justru sama.

Sebagi tokoh nasional, keduanya terbuka dan percaya pada pluralisme dan multikulturalisme. Pluralisme titik beratkan keragaman dunia manusia pada tingkat individu. Sedangkan multikulturalisme tekankan keragaman dunia manusia pada tingkat puak, kaum, golongan. Seda dan Gus Dur pencinta pluralisme. Keduanya juga penutur, bukan penghancur, dunia multikultur.

Bagi puak, kaum, dan golongannya, Seda dan Gus Dur adalah duta yang mampu lakukan tawar-menawar bermartabat dengan puak, kaum, dan golongan lain. Mereka terpanggil lakukan itu demi harmoni sosial dalam Indonesia yang bineka. Meski, karenanya, mereka terkadang disalahmengerti, bahkan oleh puak, kaum, dan golongannya sendiri.

Keduanya saksikan sendiri, betapa sulitnya harmoni sosial itu terwujud. Konflik horizontal, itulah ancaman seriusnya. Olehnya, Indonesia tidak hanya hampir pecah berkeping-keping, tapi juga seperti kehilangan alasan untuk hidup bersama tanpa saling menghancurkan. Khusus bagi Gus Dur, konflik horizontal pernah begitu menyakitkan.

Dalam opininya, Majalah TEMPO (17-23 Juli 2000) menyatakan: hampir semua pengamat sepakat, Gus Dur tokoh sangat cerdas. Ia miliki visi kenegaraan cemerlang. Kredibilitasnya tinggi dalam perjuangan menegakkan demokrasi dan HAM. Ia pribadi yang melahirkan harapan tinggi ketika terpilih menjadi presiden. Dan harapan itu bukan tanpa dasar.

Sebagai seorang visioner, Gus Dur dianggap sebagai pilihan tepat untuk selamatkan bangsa Indonesia dari ancaman disintegrasi. Perjuangannya untuk menyuburkan semangat toleransi antarumat berbeda agama, puak, golongan, ras, bahkan ideologi boleh dikata mendekati legenda. Ia tak hanya teruskan jasa ayahnya mempersatukan kalangan Islam dan nasionalis dalam membentuk negara Indonesia, tapi juga mencerdaskan dan mempersiapkan bangsa menjadi anggota komunitas dunia yang diperhitungkan.

Betapa menyakitkan ketika konflik horizontal paling berdarah dan paling panjang justru terjadi pada masa pemerintahannya. Konflik Maluku, dst, dst. Selain menyakitkan, kenyataan ini menunjukkan satu hal. Konflik itu selalu ada, siapa pun presiden. Karena itu, pilihan realistis bukanlah bagaimana menghilangkan konflik, tapi bagaimana mengelola konflik. Huruf Cina untuk kata “krisis” terdiri dari dua huruf yang berarti ‘bahaya’ dan ‘peluang’.

Bila dikelola tepat, konflik berpeluang produktif. Berpeluang ciptakan perubahan positif. Konflik bisa bawa kita pada klarifikasi pilihan-pilihan dan kekuatan untuk cari penyelesaian. Tentu, dengan syarat: mengacu pada permasalahan, nilai, dan prosedur. Bukan pada stereotip, informasi sesat, dan komunikasi emosional.

Mengelola konflik menjadi peluang produktif, itulah kepiawaian Seda dan Gus Dur. Keduanya telah tunjukkan jalan. Jalan di sini bukan terutama soal cara, tapi pilihan sikap. Keduanya pencinta pluralisme serta penutur dan bukannya penghancur dunia multikultur. Itulah pilihan sikap. Pilihan tepat. Sebab, tanpa sikap seperti ini, cara apa pun hanya akan menjuruskan konflik menjadi ’bahaya’, bukan lagi ‘peluang’ harmoni sosial.

Tentang jalan itu, kita belajar banyak dari mereka. Kita pantas berterima kasih. Bersama pilihan sikap mereka, kita terus berlangkah sebagai bangsa. Dan, untuk keselamatan jiwa mereka, kita patut panjatkan doa. Requiescant in pace!

“Bentara” FLORES POS, Senin 4 Januari 2010

Tidak ada komentar: