Prita, 2012, dan Membongkar Gurita Cikeas
Oleh Frans Anggal
Prita Mulyasari akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang, Selasa 29 Desember 2009. Prita tidak terbukti lakukan pencemaran nama baik RS Omni Internasional. Prita pun langung sujud syukur. Demikian warta Flores Pos Rabu 30 Desember 2009.
Kasus Prita menarik. Pertama, karena kontroversinya: “hukum vs keadilan”. Dan pada akhirnya keadilanlah yang menang. Kedua, karena dampak ikutannya. Vonis hukum yang tidak adil pada akhirnya melahirkan gerakan sosial: “Koin Peduli Prita”. Dari caranya, Koin Peduli Prita sungguh cerdas. Cara cerdas justru diperlihatkan wong cilik.
Ironis. Orang kecil, yang biasa dianggap bodoh, justru bereaksi cerdas. Sebaliknya, orang besar, yang biasa dianggap cerdas, justru bereaksi bodoh. Ketika film ”2012” karya sutradara Roland Emmerich diputar di Indonesia akhir 2009, reaksi orang besar jauh dari cerdas. Ada yang desak film itu dilarang diputar. Ada pula yang mau men-sweeping semua bioskop yang memutarnya.
Film ”2012” film fiksi ilmiah. Di Indonesia dianggap seolah-olah film tentang agama. Kiamat dunia dalam fiksi dikacaukan dengan eskatologi. Kebodohan ini melahirkan kebodohan baru: pelarangan. Dampaknya lucu. Alih-alih mengurangi jumlah penonton, pelarangan malah mengundang semakin banyak orang menonton. Tentu karena penasaran. Pelarangan selalu jadi iklan gratis bagi sesuatu yang dilarang. Semakin diharamkan, semakin dicari.
Kaidah yang sama berlaku pada karya non-fiksi Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Kasus Bank Century. “ Ini buku karya George Junus Aditjondro. Tiba-tiba saja menghilang dari toko buku. Manajemen dapat telepon gelap dan berbagai tekanan spikologis agar hentikan penjualan. Karya ilmiah dilawan dengan cara preman. Juga dengan cara non-ilmiah. Presiden SBY serukan bangsa Indonesia jauhkan sikap dan perilaku fitnah, berita bohong dan lampaui kepatutan.
Dampaknya? Membongkar Gurita Cikeas kini jadi buku yang paling dicari-cari. Berapa pun harganya, orang akan beli. Dijual dalam bentuk fotokopi sekalipun, buku itu pasti tetap laris. Cara beraksi orang besar yang berlebihan, itulah yang bikin masyarakat penasaran. Kaidahnya sama dengan pelarangan. Reaksi berlebihan selalu jadi iklan gratis. Semakin dipersoalkan, semakin diminati.
Terhadap ”2012”, reaksi orang besar tidak padan. Terhadap Membongkar Gurita Cikeas, reaksinya pun tidak nyambung. Dengan kata lain, tidak cerdas. Satu dasarwarsa silam, reaksi yang sama dipertontonkan dalam kasus Timor Timur. Maka, Uskup Dili Mgr Belo dalam wawancara dengan BBC mengatakan, ”Bangsa Indonesia itu bangsa yang besar, tetapi jiwanya kecil.” YB Mangunwijawa ’mengkritik’ Mgr Belo dengan mengatakan, ”Kali ini beliau keliru: yang berjiwa kecil bukan bangsa Indonesia, akan tetapi pejabat-pejabat Indonesia dan pemimpin agama.”
Benar. Jiwa besar justru ada pada diri orang-orang kecil. Dalam kasus Prita, mereka kumpulkan koin. Koin itu uang kecil. Simbol wong cilik. Simbol ketertindasan. Ketika koin dikumpulkan dan disatukan oleh spirit solidaritas, yang terlahir bukan hanya number (jumlah) tapi juga power (kekuatan). Langsung atau tidak, diputus bebasnya Prita Mulyasari turut dipengaruhi oleh number dan power ini.
Tahun 2009 akan berakhir. Tahun 2010 segera menjelang. Kasus Prita, “2012”, dan Membongkar Gurita Cikeas kiranya jadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia. Khususnya bagi orang besar. Belajar bereaksi secara cerdas terhadap apa pun yang dianggap tidak berkenan. Orang-orang kecil telah memberikan contoh. Kecerdasan melahirkan pencerahan. Selamat Tahun Baru!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 31 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar