Perempuan Korban Tindak Kekerasan
Oleh Frans Anggal
Di Kabupaten Sikka, seorang kades dilaporkan ke polisi oleh korban tindak pemerkosaan dan pencabulan. Para korban itu tiga wanita. Semuanya anak di bawah umur. Dua dari antaranya kakak beradik. Kades membantah isi laporan. Namun polisi jalan terus, karena bukti-bukti awalnya cukup. Si kades pun jadi tersangka dan ditahan (Flores Pos Rabu 16-12-2009 dan Kamis 17-12-2009).
Sebelumnya, menurut keterangan polisi, satu dari tiga korban diperkosa oleh seorang tukang ojek. Korban laporkan kasus ini ke kades. Korban juga minta perlindungan dari kades. Sial! Lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Lepas dari ‘mulut’ tukang ojek, masuk ke ‘mulut” kades. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sudah diperkosa tukang ojek, diperkosa kades pula.
Siapa si kades, siapa pula para korban, mungkin tidak terlalu penting di sini. Sebab, yang hendak kita soroti bukan diri mereka sebagai perseorangan, tapi diri mereka sebagai yang wakili kaumnya. Bukan diri mereka sebagai individu, tapi diri mereka sebagai representasi. Bukan diri mereka sebagai person, tapi diri mereka sebagai personifikasi.
Secara demikian, kita dapat memandang kasus ini dalam bingkai lebih luas. Ketiga korban itu merupakan personifikasi atau representasi kaum “perempuan”. Ya, di Sikka, di Flores, di NTT, di Indonesia. Mereka, kaum yang sudah, sedang, dan masih akan menjadi korban tiga kekuatan penindas, yang terpersonifikasi atau terepresentasi dalam diri seorang kades.
Sang kades itu laki-laki. Ia personifikasi atau representasi kekuatan “patriarki”. Sang kades itu berduit. Ia personifikasi atau representasi kekuatan “kapitalisme”. Sang kades itu juga pejabat pemerintah desa. Ia personifikasi atau representasi kekuatan “negara”. Patriarki, kapitalisme, dan negara. Itulah tiga kekuatan penindas nomor wahid kaum perempuan. Ya, di Sikka, di Flores, di NTT, di Indonesia, bahkan di dunia.
Kekuatan patriarki. Siapa bisa membantah masih kuatnya dominasi laki-laki? Di dalam keluarga, misalnya, terlalu banyak contoh yang bisa disebutkan tentang kekuasaan ‘tuan’ laki-laki terhadap ‘hamba’ perempuan, apakah itu istri atau anak. Dalam pembagian kerja, ibu rumah tangga adalah manusia dengan ‘seribu tangan’. Dia kerjakan ‘seribu tugas’ dari A sampai Z.
Kekuatan kapitalisme. Siapa bisa membantah masih kuat bahkan semakin kuatnya ekploitasi (tubuh) perempuan? Jangankan perempuan, media massa yang getol menyuarakan pengarusutamaan gender pun dieksplotasi oleh bisnis besar, oleh konglomerat, oleh industri dan teknologi yang merupakan ujung tombak kapitalisme. Sudah jamak, persepsi daya tarik komoditas dikaitkan dengan persepsi daya tarik perempuan. Selain sebagai ‘alat’ promosi komoditas, perempuan juga konsumen yang dieksploitasi, dari reklame sampo murah sampai peragaan busana mahal.
Kekuatan negara. Siapa bisa membantah masih banyak bahkan semakin banyak tenaga kerja wanita (TKW) yang dipuja-puji sebagai pahlawan devisa, tapi diterlantarkan negara sehingga mereka sering jadi korban tindak kekerasan di negeri orang? Di negeri sendiri, setali tiga uang juga. Ketika perempuan menuntut hari libur saat haid, banyak sistem industrialisasi memperketat rekrutmen pekerja perempuan.
Kembali ke kasus sang kades. Dengan ini kita hendak mengatakan: kasus itu bukan hanya kasus hukum, tapi kasus sosial juga. Sebatas masalah hukum, kasusnya mudah diselesaikan. Keadilan hukum sebentar lagi teraih. Tidak demikian halnya sebagai masalah sosial. Perjuangan keadilan sosial masih panjang. Butuh perubahan sosial. Libatkan laki-laki dan perempuan.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 19 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar