30 Desember 2009

Tolak Perdamaian Murahan

Kasus Penganiayaan di Maumere

Oleh Frans Anggal

Personel TNI AL Lanal Maumere menganiaya seorang warga, Marthen Luter, di sebuah rumah makan di Nangahure, Kecamatan Alok Barat, 20 Desember 2009. Tidak hanya menganiaya, mereka juga menyekap korban selama lima jam di tahanan (Flores Pos Kamis 24 Desember 2009) .

Korban dianiaya karena ada pengaduan dari istri salah seorang pelaku. Konon korban memegang bokong sang istri di sebuah rumah makan di Nangahure. Sedangkan menurut korban, tidak begitu. Saat ia membayar nasi kuning di warung, tangannya menyentuh belakang badan sang istri.

Apa yang sebenarnya terjadi, “pegang bokong” ataukah “sentuh belakang badan”, belumlah jelas. Masing-masing pihak pegang versi ceritanya. Tentu, versi yang menguntungkan pihaknya, dan bila perlu merugikan pihak lain. Karena itu, kedua versi hanya mungkin sama-sama salah. Tidak mungkin sama-sama benar. Kalau satunya benar, lainnya pasti salah.

Dari pemberitaan, kita tak miliki cukup keterangan untuk bisa menilai setiap versi. Di sisi lain, kita punya cukup bahan dan alasan untuk menilai kisah ikutannya. Apa pun versinya, “pegang bokong” ataukah “sentuh belakang badan”, kisah ikutannya sungguh mengerikan. Penganiayaan!

Di depan warung, wajah dan dada korban ditinju sang suami. Korban diseret ke pos jaga. Dipukuli, diinjak, ditendang lima personel lain. Kepalanya dibenturkan ke tembok. Diseret ke tahanan. Disekap. Diborgol. Digebuk bergantian. Disuruh gigit sepatu sambil merayap. Ia minta maaf, tapi tetap dipukuli. Disirami air. Bahkan kakak kandungnya diperintahkan ikut memukul. Ia dilepaskan setelah berdarah-darah dan memar. Ia diperintahkan datang keesokan harinya bawa serta meterai Rp6.000 untuk surat pernyataan damai. Namun ia tidak datang. Ia mengadu ke Polisi Militer di Ende. Ia minta proses hukum.

Langkah tepat. Proses hukum dulu, berdamai belakangan. Adil dulu, baru damai. Damai sejati hanya bisa lahir di atas keadilan. Tanpa keadilan, tak ada kedamaian. Keadilanlah yang memungkinkan kedamaian. Opus iustitiae pax est.

Dalam kasus penganiayaan di atas, keadilan macam apa yang diperlukan? Keadilan yang cara pencapaiannya sudah disiapkan oleh negara hukum. Itulah keadilan hukum. Keadilan melalui proses hukum. Dengan ini, kita tidak hendak menafikan perdamaian atau rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu penting dan berguna. Namun, ada prasyaratnya, agar tidak murahan.

Setiap rekonsiliasi membutuhkan pengampunan. Dan setiap pengampunan mempersyaratkan pengakuan akan kesalahan yang telah dibuat. Maka, mesti jelas dulu, siapa yang lakukan kesalahan, dan apa bentuk kesalahannya. Dalam negara hukum, kejelasan ini dicapai melalui proses hukum. Karena itu, kita mendukung sikap si korban. Menolak berdamai sebelum ada proses hukum.

Di sisi lain, kita mengecam tindakan oknum TNI AL. Tidak hanya karena menganiaya korban. Tapi juga karena memaksakan perdamaian kepada korban. Dari cara mereka mewajibkan korban membawa meterai setelah penganiyaan dan penyekapan, cukup jelas bahwa perdamaian yang mereka inginkan tidak lebih daripada perdamaian murahan. Yaitu, perdamaian sebagai kedok menutup-nutupi kesalahan. Atau, mengecil-ngecilkannya menjadi sebuah kekeliruan semata. Ini kita tolak mentah-mentah.

Kita tuntut para oknum TNI AL berjiwa ksatria. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Berani menganiaya orang, berani menghadapi proses hukum. Jangan jadi pengecut. Kita juga mendesak Polisi Militer segera memproses hukum para pelaku. Tegakkan keadilan, maka damai akan bersemi.

“Bentara” FLORES POS, Senin 28 Desember 2009

Tidak ada komentar: