Satyalencana Pembangunan Lingkungan Hidup
Oleh Frans Anggal
Daniel Woda Palle menerima Satyalencana Pembangunan. Ia dinilai berjasa ikut membangun negara di bidang lingkungan hidup. Semasa menjabat bupati Sikka, ia gerakkan masyarakat lakukan penghijauan dengan lamtoro dan tanaman perkebunan. Ia jalin kerja sama dengan daerah lain di luar NTT untuk adakan bibit tanaman unggul. Hasilnya, lahan tandus dan mudah longsor jadi subur. Ekonomi masyarakat pun meningkat (Flores Pos Senin 21 Desember 2009).
Salah satu pengalaman diceritakannya sendiri. Penghijauan di kali Batik Wair, Kecamatan Lela. Kali ini kering sepanjang tahun. Setelah dihijaukan, muncul mata air baru. Mengalir sampai saat ini, melayani tiga kecamatan. “Air dari kali ini sangat jernih. Pernah diminum langsung oleh Menteri Lingkungan Hidup Prof Emil Salim saat kunjungan kerja di Kabupaten Sikka tahun 1982.”
Satyalencana Pembangunan layak bagi Woda Palle. Tak perlu diperdebatkan. Yang dipertanyakan: kenapa baru sekarang? Kenapa ‘tunggu’ jadi mamo (kakek) dulu baru dia terima tanda kehormatan RI ini? Ada beberapa kemungkinan jawaban, kalau kita boleh menduga-duga.
Satyalencana tidak jatuh tiba-tiba dari langit. Ada prosedur tetapnya, berupa mekanisme pengusulan, sebagaimana diatur dalam UU 30/1959 tentang Tanda Kehormatan Satyalencana Pembangunan. Bahwa setelah puluhan tahun sesudah Woda Palle jadi bupati dua periode barulah satyalencana itu datang, ini bisa menunjukkan ketatnya persaingan dan cermatnya seleksi.
Satyalencana itu baru datang sekarang, mungkin juga karena baru sekarang nama Woda Palle diusulkan, entah oleh pemkab atau masyarakat Sikka. Kenapa baru sekarang? Boleh jadi karena baru sekarang mereka sadari prestasi dan jasa sang mantan bupati. Kalau diperbandingkan dengan prestasi dan jasa para bintang sesudah dia, Woda Palle memang paling cerlang.
Ada kemungkinan lain. Satyalencana baru datang sekarang karena sekarang Woda Palle sudah jadi mamo (kakek). Seorang lansia dianggap tidak ‘berbahaya’ lagi. Tidak jadi ‘rival’ politik lagi. Seandainya kehormatan itu ia terima ketika ia masih aktif, kecerlangannya tak tersaingi. Ia bisa menyuramkan cahaya bintang lain. Maka, tunggu dia jadi mamo dulu baru namanya diusulkan.
Semua itu cuma dugaan. Dan dugaan itu tak mengurangi nilai kehormatannya. Tak pula menyusutkan kelayakannya. Woda Palle layak, meski terlambat. Di sisi lain, ‘terlambat’ ini ‘tepat waktu’ juga. Momentumnya pas. Ia terima satyalencana, ketika wacana lingkungan hidup semakin mengemuka di forum dunia; ketika Kementerian Negara Lingkungan Hidup, sejak 2006, selenggarakan Program Menuju Indonesia Hijau; ketika Hari Cinta Puspa dan Satwa 2009 mengusung tema ”Lindungi Puspa dan Satwa Nasional sebagai Cermin Peradaban Bangsa”.
Indonesia dengan status mega-biodiversity miliki keragaman ekosistem unik dengan 90-an tipe ekosistem, mulai dari padang salju tropis di Puncak Jaya hingga perairan laut dalam di Laut Banda. Indonesia miliki 10 persen tumbuhan berbunga, 12 persen mamalia, 16 persen reptil dan amfibi, serta 17 persen jumlah jenis burung di dunia. Indonesia miliki jenis binatang menyusui paling banyak di dunia 515 jenis, 35 persen di antaranya jenis endemik Indonesia.
Keanekaragaman hayati ini harus dilindungi, sebagai cermin peradaban bangsa. Woda Palle telah buktikan diri sebagai anak bangsa beradab. Ia telah buktikan dengan sukses: pemberdayaan rakyat miskin yang holistik dan lestari menjadi satu dengan pemeliharaan lingkungan hidup. Sebab, jika lingkungan hidup rusak, rakyat miskinlah yang pertama menjadi korban, karena mereka tak punya alternatif lain untuk hidup. Para bupati gila tambang perlu belajar dari sukses ini.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 23 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar