Seputar Struktur Pemkab Nagekeo
Oleh Frans Anggal
Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Thomas Susu, mendukung struktur Pemkab Nagekeo yang gemuk. “Bagi saya, dengan adanya struktur organisasi yang gemuk ini berarti semakin baik tingkat pelayanan pemerintahan terhadap rakyat,” katanya sebagaimana diwartakan Flores Pos Senin 14 Desember 2009.
Pernyataan Thomas Susu mengejutkan banyak cendekiawan. Salah satunya, putra Nagekeo yang tinggal di Ende, Dokter Johanes Don Bosco Do. “Berita dari Nagekeo hari ini agak mengganggu,” tulisnya via SMS Selasa 14 Desember 2009. “Dukungan akademisi Unwira Thomas Susu terhadap pengembangan struktur pemerintah perlu kiranya digali lagi premis yang dipakainya.”
Sejauh yang diberitakan, jalan pikiran Thomas Susu kurang lebih begini. Semakin gemuk struktur pemerintahan daerah maka semakin banyak pula anggaran pusat yang akan mengalir ke daerah. Dengan semakin banyaknya anggaran pusat yang mengalir ke daerah maka semakin baik pula pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat.
Premis Thomas Susu dapat diterima, tapi dengan prasyarat ketat. Sayangnya, prasyarat ketat ini ia abaikan. Apa itu? Birokrasi! Premisnya mengandaikan birokrasi kita kukuh bersih seperti pipa paralon, sehingga air dari pusat mengalir lancar utuh hingga ke masyarakat. Padahal, menurut Dwight Y. King, justru sebaliknya. Birokrasi Indonesia ditandai ciri-ciri ini: mekanisme kerjanya tidak efisien. Jumlah pegawainya berlebihan. Proses pelayanannya lamban dan ketinggalan zaman. Sering salahgunakan wewenang. Serta tidak tanggap terhadap keragaman kebutuhan dan kondisi daerah setempat.
Satu poin dari Dwight Y. King itu justru melawan apa yang dibela Thomas Susu: birokrasi gemuk. Ini birokrasi model Indonesia yang lahirkan banyak kelemahan. Kelemahan pertama, lamban mengantisipasi perubahan. Kelemahan kedua, boros. Semakin gemuk struktur, semakin besar pula energi daerah (APBD) yang dihabiskan. Sebab, belanja mengikuti fungsi. Struktur gemuk mengharuskan alokasi belanja yang gemuk pula untuk gaji dan tunjangan, perjalanan dinas, pengadaan barang dan jasa, biaya pemeliharaan, dll.
Sudah rahasia umum, struktur APBD pada hampir semua daerah di Indonesia seperti ini. Sebanyak 80 persen dihabiskan untuk belanja rutin birokrasi. Sisanya 20 persen untuk pembangunan. Ini bukti bahwa birokrasi lebih berfungsi sebagai kekuatan penyerap anggaran ketimbang pengatur dan pelayan masyarakat. Jadi, semakin gemuk, semakin boros, dan semakin abaikan pelayanan publik.
Tengoklah negara-negara modern. Mereka tidak pake birokrasi gemuk. Cina yang penduduknya satu miliar lebih, cuma miliki 28 menteri. Amerika Serikat yang kaya raya cuma punya 15 menteri. Indonesia? Jumlah menterinya dua kali jumlah menteri Amerika Serikat. Sudah miskin, boros. Sudah boros, korup pula. Indonesia belum benar-benar menganut konsep good and democratic governance.
Menurut Guy Peters (2001), yang dituntut good and democratic governance adalah birokrasi ‘ramping dan tidak berlemak’ (slim and lean). Struktur birokrasi berisi orang-orang yang kapabel menyelenggarakan pelayanan publik. Inilah birokrasi yang miskin struktur tapi kaya fungsi.
Lucunya, anutan ini dilawan oleh Thomas Susu dengan premis bolong. Bolong pertama, ia abaikan karakteristik birokrasi Indonesia. Bolong kedua, ia abaikan fakta kegagalan Indonesia. Bolong ketiga, ia abaikan fakta kesuksesan negara-negara modern.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 16 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar