Berhenti Memperdebatkan Masalah UN?
Oleh Frans Anggal
Mendiknas Mohammad Nuh meminta semua pihak berhenti memperdebatkan masalah ujian nasional (UN) karena pemerintah akan tetap memberlakukan kebijakan tersebut demi kemajuan dunia pendidikan. Hal itu dikatakan mendiknas di sela kunjungannya di Pekanbaru, Riau, Sabtu 5 Desember 2009.
Permintaan mendiknas ini permintaan yang janggal, dengan alasan yang janggal. Pertama, kejanggal dalam permintaannya. Ia meminta orang berhenti berdebat. Itu berarti berhenti berbeda pendapat, dan berhenti menyatakan perbedaan pendapat. Sama artinya dengan berhenti berdemokrasi.
Kedua, kejanggalan dalam alasannya. Menurut dia, debat perlu dihentikan karena pemerintah tetap berlakukan UN. Itu berarti kebijakan pemerintahlah yang paling benar dan paling baik. Pemerintah bertitah, habislah perkara. Tak perlu ada ruang diskusi. Ini argumentasi khas anti-demokrasi.
Selain melawan demokrasi, permintaan dan alasan mendiknas itu menginjak-injak keadilan. Keadilan di sini keadilan dalam paham moderen, yang dalam telaah filsuf politik kontemporer John Rawls diartikan sebagai fairness. Jauh dari John Rawls berkebangsaan AS, cara berpikir mendiknas lebih dekat dengan filsuf Yunani klasik Trasymachos.
Menurut Trasymachos, yang disebut adil itu adalah yang sesuai dengan kepentingan penguasa atau pihak yang lebih kuat. Kalau Socrates, dalam dialog Plato, menolak pemahaman Trasymachos ini, mendiknas kita malah sebaliknya. Permintaannya menghentikan perdebatan UN mengesankan ia ‘pengikut’ mungkin juga ‘pengagum’ Trasymachos.
Coba tanyakan: kenapa UN tidak perlu diperdebatkan? Jawabannya: karena pemerintah tetap berlakukan UN. Tanyakan lagi: kenapa pemerintah tetap berlakukan UN? Jawabannya: karena itulah yang paling sesuai dengan kepentingan pemerintah, apa pun embel-embelnya: demi kemajuan dunia pendidikan, dll. Kepentingan pemerintah menjadi patokan kebenaran dan keadilan. Ini jawaban khas Trasymachos.
Dengan metode kebidanannya, Socrates telah berhasil meyakinkan Trasymachos. Bahwa, pertama, apa yang sesuai dengan kepentingan penguasa tidaklah lebih adil daripada apa yang tidak sesuai dengannya. Kedua, penguasa bertindak adil kalau ia bertindak sesuai dengan kecakapannya: memperhatikan apa yang baik, benar, dan tepat demi kepentingan bawahannya.
Kalau Socrates masih melihat keadilan sebagai urusan penguasa (bertindak sesuai dengan kecakapan demi kepentingan bawahan), John Rawls melihatnya sebagai urusan segenap anggota masyarakat. Menurut Rawls, sebuah teori keadilan yang baik adalah teori keadilan yang bersifat kontrak yang menjamin kepentingan semua pihak secara fair. Keadilan dimaknainya sebagai fairness yang bersifat kontraktual.
Karena keadilan itu fairness bersifat kontraktual, kata Rawls, maka keadilan harus dicapai dalam wacana yang sifatnya rasional, bebas, dan demokratis. Melalui wacana inilah masyarakat bisa sampai pada pemahaman dan implementasi keadilan dalam kehidupan sehari-hari.
Yang dianjurkan Rawls persis berlawanan dengan yang diminta mendiknas. Mendiknas meminta debat atau wacana tentang UN dihentikan. Dengan demikian, ia meminta orang tidak hanya berhenti berdemokrasi, tapi juga berhenti berkeadilan. Sebab, tanpa wacana rasional, bebas, dan demokratis, keadilan tidak akan terwujud. Apa kata Rawls kira-kira? Mungkin ia akan bilang begini. “Mendiknas kalian cocok hidup di zaman Yunani klasik, bersama Trasymachos. Pikirannya Trasymachos banget. Kuno banget!”
“Bentara” FLORES POS, Rabu 9 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar