Ketidakadilan Penegakan Hukum Perambahan Hutan
Oleh Frans Anggal
Istri dari tujuh pelaku perambah hutan asal Robek, Kecamatan Reok, mendatangi DPRD Manggarai, Senin 30 November 2009. Mereka didampingi Emil Sarwandi dan Pater Mateus Batubara OFM dari Almadi NTT. Mereka diterima komisi C. Demikian diwartakan Flores Pos Selasa 1 Desember 2009,
Para istri mengeluh. Sudah enam bulan suami mereka diproses hukum. Tak ada lagi tulang punggung keluarga. Mereka kesulitan uang makan, ongkos sekolah, dan berobat. Seorang anak usia SLTA terpaksa putus sekolah karena ayahnya masuk bui. Para istri minta bantuan dewan. Pertama, “suami kami pulang bersama kami hari ini.” Kedua, “cukup sudah pertambangan di wilayah kami.”
Pertambangan dimaksud, pertambangan mangan PT Sumber Jaya Asia (SJA). Kuasa pertambangan ini mengeksploitasi di kawasan yang sama. Cuma 500 meter dari tempat enam warga Robek tebang kayu untuk pembangunan SMPN 3 Robek. Keenam warga ditangkap. Kuasa pertambangan tidak. Tidak adil.
Ketidakadilan. Ini dasar utama pengaduan ke dewan. “Koq, warga yang potong kayu demi kepentingan umum ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi, perusahaan yang punya daya rusak dahsyat tidak diapa-apakan,” kata Emil Sarwandi. “Di satu sisi, itu hutan lindung. Tapi, di sisi lain, PT SJA menang dalam gugatannya terhadap Pemkab (Manggarai) karena lokasi itu bukan hutan lindung. Jadi, ada dua hal yang bertentangan satu sama lain. Untuk warga berlaku hutan lindung, tetapi untuk perusahaan tidak,” kata Pater Mateus.
Tanggapan komisi C? Berbeda dengan wakil ketua komisi Ino Teren yang kasih jawaban standar (aspirasi diterima, ditampung, dan akan dibahas), anggota komisi Rony Marut sebaliknya. Ia justru persoalkan aspirasi warga Robek. “Apa yang diangkat warga ini tidak cocok dikaitkan dengan tambang. Masalahnya, pada perizinan. Tambang ada izin untuk eksploitasi baik dari kabupaten maupun pusat. Tetapi warga tak ada izinan untuk potong kayu.”
Rony Marut lakukan dua kesalahan. Pertama, dia pisahkan dua hal yang justru berkaitan oleh kesamaan ‘tempat’, ‘waktu’, dan ‘dampak’. Tempat enam warga Robek menebang pohon dan kuasa pertambangan mengeksploitasi mangan itu sama: hutan Torong Besi, RTK 103 Nggalak-Rego. Waktunya sama: warga menebang ketika kuasa pertambangan mengeksploitasi. Dampaknya sama: merusak hutan. Jadi, keduanya terkait. Maka, cocok jika dikaitkan.
Kedua, Rony Marut menyederhanakan persoalan ketika mengatakan, masalahnya pada perizinan. Sementara, yang dipersoalkan warga Robek bukan perizinan (prosedur), tapi ketidakadilan (substansi). Menggeser, apalagi mereduksikan persoalan substansial menjadi sekadar persoalan prosedural, itu kesalahan serius.
Bahwa, PT SJA ada izin eksploitasi, sedangkan warga Robek tak ada izin potong kayu, itu jelas. Warga juga tahu itu. Tapi mereka tidak berhenti di situ. Mereka menukik lebih dalam ke dampaknya. Hutan dirusakkan. Dan dalam merusak hutan ini, PT SJA dibolehkan, sedangkan warga Robek dilarang. Dalam merusak hutan ini, PT SJA tidak diapa-apakan, sedangkan warga Robek ditangkap dan dipenjarakan.
Dengan begitu, apa yang sesungguhnya terjadi? Ketidakadilan dalam penegakan hukum. Terinjak-injaknya asas ‘persamaan di depan hukum’. Itulah substansi pengaduan warga Robek ke dewan. Menyedihkan, kalau masalah substansial “ketidakadilan” ini dialihkan oleh dewan menjadi sekadar masalah prosedural “perizinan”. Itu berarti, dewan belum andal menjalankan fungsi ‘artikulasi kepentingan’ masyarakat. Betapa kecewanya masyarakat. Dan, tentu, betapa robeknya hati warga Robek.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 3 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar