05 Desember 2009

Harus Ada Standar Objektif

DPRD Lembata Pangkas Honor Bupati

Oleh Frans Anggal

DPRD Lembata memangkas honor bupati 50 persen. Demikian warta Flores Pos Jumat 4 Desember 2009. Honor dimaksud, honor bupati selaku pengarah kegiatan pada tiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Selama ini, bupati dapat Rp1,5 juta per kegiatan. Kini, turun setengah menjadi Rp750 ribu. Keputusan ini diambil dalam rapat bersama tim anggaran eksekutif, Rabu 2 Desember 2009.

Tidak hanya honor bupati, honor panitia kegiatan pada tiap SKPD pun dipangkas 50 persen. Hal sebaliknya bagi guru penyusun soal dan pemeriksa bahan ujian SD-SLTA. Honor mereka naik 100 persen. Uang pengawas ujian, misalnya, dinaikkan dari Rp25 ribu menjadi Rp50 ribu.

Dalam penilaian dewan, honor bupati selama ini terlalu besar. Ambil contoh, di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (PPO). Ada 52 kegiatan dalam setahun. Dengan honor Rp1,5 juta per kegiatan maka dalam setahun bupati kebagian Rp78 juta. “Ini baru (dari) satu SKPD, belum lagi (dari) SKPD lain,” kata anggota dewan Servas Suban.

Honor terlalu besar. Itulah yang jadi alasan honor bupati dipangkas. Pertanyaan kita: apa ukurannya sampai jumlah tersebut dinilai terlalu besar? Kata “terlalu” menunjukkan gradasi. Pertanyaan selanjunya: terlalu besar itu dalam perbandingan dengan apa? Sayang, dua pertanyaan ini tidak terjawab dalam pemberitaan. Padahal, ini penting.

Tanpa ukuran atau standar objektif, penetapan honor bagi seorang bupati akan mudah terperangkap dalam subjektivitas anggota dewan. Artinya, kebebasan dan interese anggota dewanalah yang menjadi penentu. Kasarnya, suka-suka merekalah untuk menilai honor “terlalu kecil”, “pas”, atau “terlalu besar”.

Kenapa selama ini bupati terima honor Rp1,5 juta per kegiatan SKPD? Tanpa standar objektif dalam penetapan besaran honor tersebut, anggota dewan lama akan cenderung menjawab: jumlah itu “pas” untuk bupati. Tentu lucu kalau juga, tanpa standar objektif dimaksud, anggota dewan yang sekarang menilai sebaliknya: jumlah itu “terlalu besar” untuk bupati.

Pertanyaan yang sama bisa dilontarkan perihal penetapan honor pengawas ujian SD-SLTA. Kenapa selama ini honornya Rp25 ribu? Tanpa standar objektif, anggota dewan lama akan bilang: jumlah itu “pas” untuk guru. Tentu lucu juga kalau, tanpa standar objektif, anggota dewan yang sekarang bilang sebaliknya: jumlah itu “terlalu kecil” untuk guru.

Dengan ini, kita hendak menyatakan: tanpa standar objektif, sebuah penetapan akan sekadar menjadi produk subjektivitas. Bahkan bisa menjadi produk kesewenang-wenangan. Ini tidak boleh terjadi. Karena itu, standar objektif harus ada. Di hadapan kemungkinan kesewenang-wenangan, standar objektif justru akan mengurangi atau meniadakan kesewenang-wenangan itu. Sebab, dalam dirinya sendiri, standar objektif mengandung ‘pembatasan’ (limitation) atau ‘pengekangan’ (restriction).

Kita mengapresiasi langkah DPRD Lembata yang di satu sisi memangkas honor bupati dan di sisi lain menaikkan honor guru. Ada kesan kuat, dewan baru ini peduli pada nasib guru. Guru yang jumlahnya banyak diutamakan ketimbang bupati yang hanya satu orang. Mereka dahulukan yang jumlahnya banyak tapi terimanya sedikit ini ketimbang yang jumlahnya sedikit tapi terimanya banyak.

Kepedulian dan preferensi yang bagus. Namun, itu saja tidak cukup. Kepedulian dan preferensi sebagus apa pun haruslah taat pada aturan main ketika dituangkan menjadi kebijakan. Bila wujudnya berupa penetapan honor maka aturan main yang rasional pasti mengharuskan adanya standar objektif.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 5 Desember 2009

Tidak ada komentar: