Mereaksi Buku "Membongkar Gurita Cikeas"
Oleh Frans Anggal
Pengamat politik dari Lembaga Survei Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, menilai reaksi Istana berlebihan terhadap buku George Junus Aditjondro, Membongkar Gurita Cikeas: di Balik Kasus Bank Century. “(Reaksi berlebihan) ini malah berbalik menjadi iklan gratis bagi buku George. Masyarakat yang tidak terlalu peduli, menjadi penasaran untuk mendapatkannya,” katanya seperti diwartakan Flores Pos Selasa 29 Desember 2009.
Yang dirujuk Muhtadi adalah pernyataan Presiden SBY pada perayaan Natal bersama tingkat nasional. SBY menyerukan agar bangsa Indonesia menjauhkan sikap dan perilaku fitnah, berita bohong dan melampaui kepatutan. Pernyataan ini mengarah ke buku George. Apalagi jubir kepresidenan menegaskan kemudian, buku itu tidak mengandung kebenaran.
Dalam Membongkar Gurita Cikeas, George membahas gurita bisnis empat yayasan SBY. Yaitu, Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir Nurussalam SBY, Yayasan Kepedulian Kesetiakawanan Sosial, dan Yayasan Mutumanikam Nusantara. Menurutnya, keempat yayasan inilah yang selama ini menjadi mesin uang dan penarik suara bagi SBY dan Partai Demokrat.
Hampir tak ada hal baru dalam buku ini. Sebagian besar sudah tersebar di media. Hanya sebagian kecil yang tidak. Yang baru hanyalah cara penulis mengumpulkan informasi, menganalisis korelasinya dengan pemerintahan SBY, lalu mengkritik perkembangan yang menurutnya semakin tidak sehat.
Menurut George, inilah yang tampaknya membuat kubu SBY kebakaran jenggot. Yang tidak perlu terjadi pun terjadilah. Pertama, terbitan Galang Pers itu diluncurkan di Yogyakarta 23 Desember 2009. Hanya berselang beberapa hari, buku tersebut ditarik dari toko buku di Jakarta. Pihak manajemen mendapat telepon gelap dan berbagai tekanan psikologis agar menghentikan penjualan. Kedua, reaksi Istana. SBY lakukan counter. Ia serukan agar bangsa Indonesia menjauhkan sikap dan perilaku fitnah, berita bohong dan melampaui kepatutan.
Baik tekanan psikologis kepada manajemen toko buku maupun seruan SBY merupakan reaksi berlebihan. Yang menjadi ukuran di sini caranya. Buku lahir dari sebuah tradisi. Tradisi ilmiah. Dalam tradisi ilmiah, ada aturan main. Termasuk, bagaimana bereaksi. Yang tidak setuju dengan isi buku, silakan nyatakan koreksinya dengan menulis buku juga. Atau, minimal, menulis telaahan di media. Cara yang sama dilakukan penulis manakala ia menemukan kekurangan pada bukunya. Ia mesti melahirkan edisi revisi.
Itu cara terhormat menurut tradisi ilmiah. Cara di luar cara itu berpeluang tidak terhormat. Memberi tekanan psikologis kepada manajemen toko buku agar menghentikan penjualan, itu cara preman. Bentuk lain: melarangnya, memblokir peredarannya, atau memborongnya untuk kemudian membakarnya. Juga, mencekal penulisnya, dan bila perlu memenjarakannya. Ini cara negara komunis. Cara Indonesia juga, era Soeharto. Pancasilais ajarannya, komunis praktiknya.
Setali tiga uang: seruan lisan lewat pidato agar warga bangsa tidak mempercayai isi buku. Tidak preman memang, tapi kampungan. Budaya tulis di-counter pakai budaya lisan. Selain tidak padan, hasilnya pun bisa terbalik. Seperti kata Burhanuddin Muhtadi: menjadi iklan gratis. “Masyarakat yang tidak terlalu peduli, menjadi penasaran untuk mendapatkannya.” Alhasil, Membongkar Gurita Cikeas pun jadi gurita goreng, gurih, dan dicari-cari.
Dalam spirit tradisi ilmiah, kita dambakan cara bereaksi terhormat. Mudah-mudahan segera lahir buku tandingan. Judulnya, Tak Ada Gurita Cikeas. Kalau di-counter berlebihan, buku ini pasti jadi gurita goreng juga, gurih, dan dicari-cari.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 30 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar