23 Desember 2009

Prita, Yang Kecil, dan Natal

Jangan Remehkan yang Kecil

Oleh Frans Anggal

Gerakan ‘Koin untuk Prita’ ternyata tidak hanya membantu Prita Mulyasari. Tapi juga lembaga pencetak koin: Bank Indonesia (BI). Total koin terkumpul Rp650 juta. Beratnya berton-ton. Susah simpannya, jaganya, hitungnya. Maka, perlu ditukar. BI bersedia. Tidak hanya bersedia, BI berterima kasih. “Dengan adanya gerakan koin untuk Prita, kami senang karena uang logam yang kami cetak bisa kembali,” kata Deputi Direktur Pengedaran Uang BI Yopie Alimudin, seperti diwartakan Flores Pos Rabu 23 Desember 2009.

Membantu BI. Ini manfaat tak terduga. Sebab, sesungguhnya, ‘Koin untuk Prita’ itu bentuk kepedulian masyarakat terhadap Prita yang jadi korban peradilan sesat. Sebelumnya, Prita korban pelayanan RS Omni International. Karena curhat di milis tentang kekecewaannya terhadap RS itu, ia diproses hukum.

Di Pengadilan Negeri Tangerang, Prita divonis denda Rp312 juta. Ia lalu ajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten. Hasilnya, ia tetap divonis bersalah dengan denda Rp204 juta. Rasa keadilan masyarakat terusik. Mereka bikin gerakan: kumpulkan koin. Ini bentuk kepedulian terhadap Prita. Juga protes terhadap putusan pengadilan.

Vonis bagi Prita merupakan bukti betapa cara pandang hakim masih sangat kaku dan normatif-prosedural. Mereka sebatas jadi corong undang-undang. Terbelenggu kekakuan normatif-prosedural peraturan. Tak heran, putusan mereka jauh dari rasa keadilan substansial. Cocoknya, mereka ini jadi jaksa, bukan hakim. Hakim harus berani jadi living interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat. Demi keadilan, hakim harus berani ambil keputusan yang berbeda dari ketentuan UU.

Menghadapi hakim model begini, pada kasus Prita, reaksi masyarakat kita unik. Mereka kumpulkan koin. Dalam teori gerakan sosial, ini termasuk gerakan ekspresif. Gerakan ekpresif biasanya terjadi di kalangan tertindas. Dalam gerakan jenis ini, masyarakat tidak berupaya mengubah realitas, tapi mengubah reaksi mereka terhadap realitas itu. Gerakan jenis ini membantu mereka menerima kenyataan, sambil tetap berharap. Ekspresinya bisa lewat puisi, teater, lagu protes, dll. Dalam kasus Prita, berupa koin. Koin itu uang kecil. Simbol wong cilik. Simbol ketertindasan.

Yang tak dinyana, gerakan wong cilik ini ternyata bermanfaat bagi BI. Selama ini BI sulit mengumpulkan kembali uang logam yang dicetaknya. ‘Koin untuk Prita’ membuat semuanya jadi mudah. Itu bagi BI. Bagi kita?

Ada hikmah yang patut dipetik. Yaitu: jangan pernah remehkan yang kecil. Apa itu uang kecil atau orang kecil. Uang kecil, jika dikumpulkan sedikit demi sedikit, akan menjadi ‘uang besar’. Orang kecil, jika disatukan oleh solidaritas, akan menjadi ‘orang besar’.

Dalam spiritualitas Natal, hikmah ini relevan. Allah sendiri tidak pernah remehkan yang kecil. Ia datang ke dunia dalam kekecilan seorang bayi, Yesus. Melalui rahim orang kecil, Maria. Lahir di kota kecil, Betlehem. Dibesarkan di kota kecil, Nasareth. Tidak hanya tidak pernah remehkan yang kecil, Allah berpihak pada yang kecil: kaum miskin. Allah bukanlah Allah yang netral, menurut Alkitab.

Allah berpihak pada kaum miskin, bukan karena kaum miskin lebih saleh daripada kaum kaya. Tapi karena kaum miskin itu orang tak berdaya dan diterlantarkan. Allah berpihak pada mereka bukan pula untuk melawan kaum kaya. Sebab, Allah datang untuk selamatkan seluruh umat manusia. Namun, perhatian pertama dan utama ditujukan-Nya pada titik di mana kemanusiaan paling terancam. Kemiskinan tidak hanya buruk bagi kaum miskin itu sendiri, tapi juga buruk bagi umat manusia seluruhnya. Selamat Natal!

“Bentara” FLORES POS, Kamis 24 Desember 2009

Tidak ada komentar: