Kontroversi Kasus PDAM Ende
Oleh Frans Anggal
Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2009 ditandai berbagai aksi demo di Tanah Air. Di Ende, seperti diwartakan Flores Pos Kamis 10 Desember, berbagai elemen masyarakat melakukan long march, memekikkan yel, membentangkan spanduk, berorasi, dan berdialog. Untuk dialog, mereka datangi kejari dan DPRD.
Datangi DPRD, itu biasa. Namanya juga lembaga wakil rakyat. Ke sinilah aspirasi rakyat disampaikan. Yang baik yang buruk, yang diminta yang ditolak, yang disukai yang dibenci, yang jelas yang kabur, diangkut ke sini dan ditumpahkan di sini. Untuk masalah, harapan rakyat hanya satu: diselesaikan.
Untuk masalah yang ada dalam ‘ruang lingkup kekuasaan’ (scope of power) atau ‘ranah kekuasaan’ (domain of power) DPRD, rakyat harapkan wakil mereka jadi eksekutor tangkas. Sedangkan untuk masalah di luar ruang lingkup atau ranah itu, rakyat harapkan wakilnya jadi fasiltator piawai.
Kalau datangi DPRD itu biasa, bagaimana dengan aksi datangi kejari? Sebetulnya biasa juga. Sudah sering Kejari Ende didemo. Tuntutan tak ada yang baru. Yang itu-itu juga: tuntaskan berbagai kasus korupsi yang sudah berkali-kali berulang tahun di kejari. Kalau begitu, apanya yang luar biasa?
Ini dia! Kajarinya, Marihot Silalahi, keluar dari ruang kerja dan berdialog dengan demonstran. Meski didesak dulu baru mau, tidak apa. Untuk Ende, ini tetap luar biasa. Sebab, biasanya, kajari tak biasa keluar ruangan menemui demonstran. Kali ini, kejutan. Semacam ‘kado’ Hari Antikorupsi Sedunia.
Masih ada yang luar biasa. Terungkap dari mulut Kajari Silalahi saat dialog. Pertama, kasus APBD Ende Rp150 juta: sudah dilimpahkan ke pengadilan negeri pada 30 November 2009. Kedua, kasus pengadaan tanah PLTU Ropa: dilimpahkan hari itu juga ke pengadilan. “... bertepatan dengan Hari Antikorupsi Sedunia hari ini ....,” kata kajari.
Luar biasa? Ya! Walaupun cuma dua kasus. Lumayan, daripada tidak samasekali. Sebab, biasanya, selama ini, kasus-kasus korupsi ‘ditampung’ di kejari. Kejari menjadi semacam ‘bank kasus’. Di sana kasus-kasus korupsi berulang tahun. Kajari datang dan pergi, kasus-kasus itu setia menunggu ‘perayaan’ hari ulang tahun berikutnya.
Para demontran menyebutkan tiga kasus yang sering berultah di kejari. Kasus PDAM, kasus pembangunan kantor bupati Rp21 miliar, dan kasus alat uji kendaraan di dishub Rp1,4 miliar. Berbeda dengan jawaban tentang kasus APBD dan pengadaan tanah PLTU Ropa yang luar biasa, jawaban tentang kasus PDAM tidaklah luar biasa. Kajari kembali mengunyah jawaban lama, yang sudah biasa selama ini. Katanya, kerugian negara tidak bisa dihitung. Kerugian negara belum ditemukan. Dst, dst.
Ini jawaban biasa, tapi luar biasa juga. Yang luar biasa di sini, kejanggalannya. Ada kerugian negara, namun kerugian negara itu tidak bisa dihitung. Benarkah itu? Kita andaikan saja benar. Pertanyaan kita: kenapa hal itu harus jadi halangan pelimpahan berkas ke pengadilan? Limpahkan saja to! Ada hakim di pengadilan yang akan menilai. Percayakan pada hakim.
Berbeda dengan jaksa, hakim tidaklah sekadar corong undang-undang. Berbeda dengan jaksa, hakim berwenang menjadi living interpretator. Berbeda dengan jaksa, hakim berhak menangkap semangat keadilan dalam masyarakat. Berbeda dengan jaksa, hakim tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan. Karena itu pula, hakim bisa mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif undang-undang.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 11 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar