Kontroversi Tambang Mangan di Manggarai Timur
Oleh Frans Anggal
Masyarakat Tompong meminta Pemkab Manggarai Timur dan investor tidak paksakan wilayah Tompong, Desa Nangambaur, Kecamatan Sambirampas, menjadi lokasi tambang mangan. Alasan: tambang akan mengancam eksistensi masyarakat lokal. Demikian kata anggota DPRD Manggarai Timur Jemain Ustman, sebagaimana diwartakan Flores Pos Sabtu 19 Desember 2009.
Wacana kasus Tompong mungkin menarik kalau kita ‘bermain’ dengan vokalnya. Coba ganti dua “o” pada “tompong’ dengan vokal lain, akan lahir enam kata. Tompong lahirkan tampang, timpang, tumpeng, tumpang, tamping, tampung.
Tampang wilayah Tompong sendiri kecil. Mata air dan persawahannya diapiti dua gunung. Jika tambang masuk Tompong, tampang Tompong akan timpang. Bahkan, Tompong kehilangan tampang. Sebab, jagat kehidupan Manggarai terdiri dari empat unsur. Rumah kediaman (mbaru bate ka’eng), kampung halaman (natas bate labar), sumber air (wae bate teku), dan lahan pertanian (uma bate duat). Keempatnya satu kesatuan. Satu rusak, yang lain terganggu.
Tambang nekat masuk Tompong, karena di Tompong ada tumpeng: mangan. Tumpeng Tompong mau dipotong pake pisau eksploitasi. Potongan tumpeng akan selalu timpang. Ada potongan besar, ada potongan kecil. Potongan besar buat investor yang notabene cuma tukang tumpang. Potongan kecil buat pemkab (PAD). Remahnya buat warga lingkar tambang. Remah basi pula, karena tercemar, dan tentu mematikan.
Tumpeng Tompong mau dipotong timpang oleh tukang tumpang. Padahal, si tukang tumpang cuma meka liba salang alias tamu mampir ngombe. Tamu dia, tapi seperti tuan rumah saja. Bisa masuk tanpa permisi, lewat pintu belakang. Lalu kaki tangannya bisa krasa-krusu pecah belahkan penghuni rumah. Lalu kumpulkan tanda tangan. Lalu, atas namakan warga, datangi pemkab, nyatakan setuju tumpeng dipotong.
Dalam kasus tumpeng di mana pun, bupati dan wabup tetaplah tamping alias mandor. Pekerja yang mengepalai pekerja lain. Dalam kasus tumpeng di Tompong, Bupati Yoseph Tote dan Wabup Andreas Agas adalah juga tamping. Sebagai tamping, apakah keduanya tampung keluh kesah warga Tompong? Ataukah tamping ini lebih suka tampung janji surga tukang tumpang?
Kita berharap, kedua tamping mau tampung aspirasi pemilik tumpeng di Tompong, dan tidak condong timpang ke tukang tumpang yang menginginkan tumpeng. Pemilik tumpeng mesti didengarkan. Sebagai orang-orang kecil, mereka seharusnya dilindungi dan dibela. Ini tugas tamping. Apalagi, dalam Kitab Suci, santo pelindung tamping ini orang kecil juga. Yoseph itu tukang kayu. Andreas itu nelayan. Keduanya kemudian jadi orang besar. Yosef bapa piara Yesus. Andreas rasul-Nya. Namun dalam kebesaran itu, keduanya tetap mengecilkan diri. Karena itu keduanya dihormati sebagai santo.
Yang kita harapkan, Bupati Yoseph Tote memiliki hati seorang Santo Yosef. Wabup Andreas Agas memiliki hati seorang Santo Andreas. Harapan ini tidak berlebihan. Bukankah dalam pilkada lalu keduanya mengakronimkan nama mereka menjadi Yoga? Dalam tradisi Hindu, yoga adalah jalan mencapai samadhi: kesatuan dengan yang ilahi. Dan Yesus, anak piara si tukang kayu Yoseph, mengajarkan: bagaimana mungkin menyatu dengan yang ilahi kalau tidak menyatu dengan sesama, terutama orang-orang kecil.
Masyarakat Tompong. Itulah sesama. Orang-orang kecil. Ketika mereka dipaksa terima tambang, di manakah hati seorang Santo Yosef? Di manakah hati seorang Santo Andreas? Di mana pulakah spiritualitas Yoga? Semoga masih ada. Karena itu, mari dan lihatlah. Lihat keberpihakan Yoga di Tompong.
“Bentara” FLORES POS, Senin 21 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar