Meninggalnya Seorang Bocah
Oleh Frans Anggal
Bocah lima bulan, Jerenimus Mari, meninggal di RSUD Ende. Keluarga kecewa. Mereka menduga kematiannya dikarenakan oleh tindakan petugas RSUD yang memindahkan dan mengganti tabung oksigen. Tabung yang sedang digunakan si bocah dipindahkan ke pasien lain yang sedang gawat. Sebagai gantinya, si bocah memakai tabung lain yang diduga isinya kosong. Si bocah meninggal saat dipindahkan ke ruang ICU (Flores Pos Sabtu 12 Desember 2009).
Tanggapan RSUD? Tabung oksigen dipindahkan karena terbatas jumlahnya. Keterbatasan ini mengharuskan petugas prioritaskan pasien gawat. Saat itu ada tiga pasien kritis, sementara si bocah agak membaik. Oleh desakan kedaruratan, tabung si bocah dipindahkan ke pasien kritis. Sedangkan untuk si bocah dipasang tabung lain, tabung berisi oksigen (tidak kosong) dan masih berfungsi baik. Dalam perjalanan menuju ruang ICU, kondisi si bocah menggawat. Tindakan medis diberikan, namun tidak bisa menolong. Si bocah meninggal.
Kita patut turut berduka bersama keluarga yang kehilangan seorang buah hati. Tidak hanya turut berduka. Kita juga perlu berempati. Meletakkan diri pada posisi mereka. Dengannya, kita akan lebih mudah memahami mereka. Memahami perasaan mereka. Memahami pikiran mereka, yang bisa saja dan bahkan mudah terbias kecamuk duka kehilangan orang tercinta.
Berempati, sebagai kegiatan emosi, mempersyaratkan dua hal. Pengambilan jarak (distansi) dan pengendalian diri (moderasi). Ini yang membedakan empati dari simpati, yang buat orang lebur atau larut. Sedangkan memahami, sebagai kegiatan rasio, mempersyaratkan dua hal lain. Keterarahan dari subjek yang mau mamahami (intensionalitas) dan keterbukaan dari objek yang hendak dipahami (objektivasi).
Dengan empati dan pemahaman, kita tidak mudah gegabah memvonis kasus medik sebagai malpraktik. Dalam kasus di atas, kita tidak gampang membenarkan dugaan bahwa si bocah meninggal karena kelalaian RSUD Ende. Karena petugas memindahkan dan mengganti tabung oksigen.
Perlu berhati-hati. Tidak membenarkan simpulan dugaan hanya atas dasar urutan waktu. Dalam logika, penyimpulan begini dinamakan ‘sesatpikir urutan waktu’ (fallacy of post hoc). Penyimpulan sesat berdasarkan anggapan bahwa oleh karena sesuatu hal terjadi setelah sesuatu hal lain, maka hal lain tersebut menjadi sebab dari hal yang terjadi kemudian itu. Istilah post hoc kependekan dari ungkapan Latin: post hoc, ergo propter hoc (‘sesudah ini, maka karena ini’).
Bahwa si bocah meninggal “setelah” tabung oksigen dipindahkan dan diganti, itu fakta. Tidak disangkal oleh RSUD. Yang jadi soal: apakah meninggal “setelah” tabung oksigen dipindahkan dan diganti sama dengan meninggal “karena” tabung oksigen dipindahkan dan diganti? Menyamakannya begitu saja, itulah sesatpikir. Memvonis atas dasar sesatpikir, itulah kegegabahan.
Tanpa mengurangi empati kita pada keluarga berduka, sesatpikir begini tidak dapat kita terima. Vonis dugaannya pun, karena dibangun di atas sesatpikir, tidak dapat pula kita benarkan. Pembenaran terhadapnya hanya sah jika vonis dugaan itu dikukuhkan melalui proses pencarian fakta, klarifikasi, dan verifikasi. Sejauh diberitakan, proses seperti ini belum atau tidak dilakukan.
Meski demikian, sengketa medik tersebut bukannya tanpa hikmah. Satu dari banyak yang penting patut diambil oleh Pemkab Ende selaku pemilik RSUD. Yaitu: jangan hanya bangga “terima” banyak setoran PAD dari RSUD. Banggalah juga “beri” banyak ke RSUD. Dengan demikian, tidak ada lagi keluhan RSUD Ende kekurangan tabung oksigen, dll.
“Bentara” FLORES POS, Senin 14 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar