Dari Wisuda Universitas Flores 2009
Oleh Frans Anggal
“Saya harap para wisudawati dan wisudawan dapat menjalani hidup seperti bunga flamboyan yang berbunga indah berwarna merah sampai oranye cerah, yang pohonnya tinggi menebar keindahan dan memberi teteduhan, yang dapat tumbuh di pantai maupun di gunung, di tanah subur maupun tandus.”
Itu kata-kata Profesor Stephanus Djawanai dalam orasi wisuda Uniflor Ende 15 Desember 2009: “Universitas Flores Mengubah Pola Pikir Anak Indonesia”. Ia tekankan pentingnya memajukan penelitian tentang kearifan lokal. Di bidang tumbuh-tumbuhan, ia sebut flamboyan (Poinciana regia) secara istimewa.
Istimewa, tidak hanya karena bunga flamboyan ia jadikan metafora bagi para wisudawan. Tapi juga karena pohonnya ‘Flores banget’. Menurutnya, flamboyan-lah yang antara lain menyebabkan pulau ini dinamai Flores. Kata flores (Latin) merupakan bentuk jamak dari flos yang berarti ‘bunga’.
“.... kita lupa pada satu jenis pohon yang dulu dilihat oleh para pelancong dari mancanegara yang datang ke Flores dan yang kemudian menamainya pulau Flores. Diperlukan suatu kampanye untuk menanam pohon flamboyan yang berbunga indah .... Pohan ini dapat mencapai tinggi hingga 28 meter dan kayunya keras dan dapat digunakan sebagai balok untuk pembangunan rumah.”
Kampanyekan dan budi dayakan flamboyan. Ini belum pernah dilakukan. Di Ende, yang merindang di pinggir jalan hanya angsana dan asam jawa. Itu pun dari masa Bupati Jonanis Pake Pani. Setelah dia, angsana hilang satu satu. Asam jawa di Jalan Wirajaya pun sudah dimakan oleh pelebaran jalan, tanpa ada pohon pengganti. Pelebaran jalan identik dengan penggersangan kota.
Flamboyan? Di Ende ada dan banyak. Tapi bukan di taman kota. Bukan di pinggir jalan. Bukan pula di pekarangan rumah masa kini. Ada dan banyak itu justru di “rumah masa depan”. Di kompleks pekuburan BBK (Biara Bruder Konradus). Pohonnya tinggi dan rindang, teduh dan sejuk. Merah oranye bunga-bunganya cemerlang, indah dan memesona. Sayang, hanya ada di pekuburan!
Kapan flamboyan merindangi, meneduhkan, menyejukkan, dan memperindah kota-kota di Flores? Mengingat flamboyan-lah yang antara lain menyebabkan pulau ini dinamai Flores? Jawabannya: suatu saat, ketika flamboyan dikampanyekan dan dibudidayakan melalui sebuah gerakan yang kita namakan saja “Floreskan Flamboyan, ‘Flamboyankan’ Flores”.
Menjadikan ini gerakan se-Flores butuhkan waktu. Maka, kita perlu mulai dari ruang lingkup kecil. Semacam demplot. Mulai dari Ende. Kota ini pernah jadi ibu kota Daerah Flores. Kota ini pun tepat di tengah-tengah Flores. Kita bisa datangkan angsana yang ‘asing’. Kita bisa datangkan asam jawa yang ‘imporan’. Kenapa kita tidak kembangkan pohon kita sendiri yang dalam sejarahnya ‘akrab’ dengan kefloresan kita? Ende perlu merasa terpanggil menjadi pioner!
Menjadikan ini gerakan se-Ende butuhkan waktu juga. Maka, perlu dimulai dari sebuah demplot. Demplot itu, Uniflor. Ini universitas pertama, tertua, terbesar di Flores. Menyandang nama Flores pula. Pada saat wisuda lulusannyalah flamboyan disebut secara istimewa. Bahkan tamatannya dimetaforakan sebagai bunga flamboyan. Uniflor perlu merasa terpanggil menjadi pioner!
“Floreskan Flamboyan, ‘Flamboyankan’ Flores”. Bisa dimulai dengan gerakan kecil berkelanjutan. Katakanlah, gerakan seribu flamboyan. Setahun sekali, pada musim hujan, seribu famboyan ditanam. Dimulai dari kampus Uniflor. Dari sana, melalui para mahasiswa, flamboyan menyebar ke seantero Ende, lalu ke seantero Flores. Sehingga, suatu saat nanti: ingat Flores, ingat flamboyan. Ingat flamboyan, ingat Uniflor. Wah!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 17 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar