09 Desember 2009

Warga ‘Setan’ Beo Rahong

Proyek Jalan PNPM Mandiri

Oleh Frans Anggal

Puluhan warga Desa Beo Rahong, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, datangi DPRD, Jumat 14 Desember 2009. Mereka persoalkan mutu pengerjaan jalan desa 1,5 km, proyek Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Materialnya, batu kapur dan pasir bercampur tanah. Mereka perlihatkan sampelnya ke dewan

Sebagaimana diwartakan Flores Pos Sabtu 5 Desember 2009, warga sampaikan beberapa hal. Dengan material batu kapur dan pasir bercampur tanah, jalan akan berlumpur saat hujan. Mereka minta dewan segera ke lokasi dan ambil sikap sebelum semuanya terlambat. Mereka tuntut bagian yang sudah dikerjakan dibongkar. Materialnya harus diganti dengan material bermutu.

Penilaian warga ini berseberangan dengan pernyataan PJOK PNPM. “Sirtu yang dihamparkan ke telford harus mengandung unsur tanah 20 persen. Unsur tanah penting sebagai pengikat batu dan pasir,” kata Frumensius LTK. Kata dia, dalam pertemuan desa, warga sudah terima itu. Yang tetap tidak terima hanyalah warga yang tidak paham penjelasan teknis.

Penjelasan teknis PJOK boleh jadi masuk akal. Untuk telford, tanah itu penting sebagai pengikat batu dan pasir. Tapi, batunya batu yang bagaimana? Apa iya batu kapur, yang mudah remuk tergilas kendaraan? Mana yang benar, warga ataukah PJOK, belum jelas. Karena itu, dewan perlu segera ke lokasi. Memantau fisik proyek. Juga menggelar pertemuan desa guna mendapat verifikasi dan mencari solusi.

Apa pun temuan dan solusi nanti, kedatangan warga ke dewan perlu diwawas secara positif. Ini wujud partisipasi mereka dalam pembangunan. Ini bukti mereka mengontrol, tidak hanya menonton proses pembangunan. Apalagi, proyek yang mereka kontrol ini bernama PNPM Mandiri. Ada dua kata penting yang disandang nama itu: ‘pemberdayaan’ dan ‘ (ke)mandiri(an)’.

Secara konseptual, pengembangan masyarakat dengan orientasi ‘pemberdayaan’ menganut prinsip people driven. Masyarakat jadi aktor penting dalam setiap formulasi kebijakan dan pengambilan keputusan. Syarat mutlak pemberdayaan adalah orientasinya yang selalu tertuju pada ‘kemandirian’. Sangat naif jika program pemberdayaan berjalan sambil menciptakan ketergantungan masyarakat pada pihak lain.

Dari sisi pandang ini, kedatangan warga ke dewan patut diapresiasi. Tidak hanya karena itu merupakan wujud partisipasi. Tapi juga bukti berdaya dan mandirinya mereka. PJOK PNPM semestinya bersyukur dengan warga seperti ini. Kalau harus dianggap sebagai ‘setan’, para warga ini ‘setan’ yang berguna. Advocatus diaboli (Latin). Devil’s advocate (Inggris). ‘Setan’ yang ‘menyelamatkan’ kita justru dengan cara ‘mengganggu’ kita terus-menerus.

Kalau semua warga hanya jadi ‘malaikat’ yang cuma angguk-angguk, buahnya kehancuran, bukan keselamatan. Dalam konteks PNPM Mandiri di Desa Beo Rahong, yang hancur bukan hanya proyek jalan 1,5 km itu, tapi juga masyarakat desanya. Dan kalau masyarakat hancur, hancurlah segalanya.

Sikap DPRD dan BPMD tepat. Menerima pengaduan para warga ‘setan’ Beo Rahong sebagai masukan berharga. Tim legislatif dan eksekutif akan turun ke lokasi, memantau fisik proyek. Kalau benar pengerjaannya tidak betul, tidak ikut standar teknis, maka harus dibongkar dan dikerjakan ulang.

Hebat, bukan? Tanpa pengaduan para warga ‘setan’ di DPRD, hal seperti itu akan sulit terjadi. Proyek PNPM Mandiri di mana pun akan hancur berantakan kalau warga hanya jadi ‘malaikat’ penonton, yang tahunya cuma angguk-angguk.

“Bentara” FLORES POS, Senin 7 Desember 2009

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Itulah mental pemimpin kita, memberi proyek tanpa ada pengawasan dari mereka sendiri, kalau pun ada pasti mulut dan matanya disumbat dengan duit; dengannya mereka tidak kan bersuara dan pura pura tidak melihat kepincangan dalam proyek tersebut.