11 Desember 2009

Ende dan Kredo Malu

Mubes Swasembada Pangan 2012

Oleh Frans Anggal

Hanya sehari setelah Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember 2009, Pemkab Ende menggelar sebuah mubes. Mubes Swasembada Pangan 2012. Digelar di Aula Paroki St Yosef Detusoko, Kamis 10 Desember (Flores Pos Jumat 11-12-2009).

Waktu yang dipilih, sehari setelah Hari Antikorupsi Sedunia, mungkin cuma kebetulan. Koinsidensi belaka. Namun, yang kebetulan tetaplah berharga, kalau dihargai, dengan pemaknaan tertentu.

Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 9 Desember disemaraki demo di Tanah Air, termasuk di Ende. Berbagai elemen masyarakat ikut dalam long march, yel, spanduk, orasi, dan dialog. Dari aneka ekspresi itu, fokus tuntutan sangat jelas. Semua kasus korupsi harus diproses hukum sampai tuntas. Mulai dari kasus lokal kelas teri di Ende hingga kasus nasional kelas kakap seperti skandal Bank Century di Jakarta. Semua pelaku korupsi harus dihukum. Singkat kata: hukum harus ditegakkan.

Sehari setelah peringatan semarak itu, di Detusoko, jauh dari ingar-bingar ibu kota Ende, berbagai elemen pun gelar aksi lain. Dari komposisi pesertanya, yang hadir jauh lebih lengkap. Ada eksekutif, legislatif, gereja, dan unsur masyarakat. Tidak sesemarak aksi di jalanan, tentu. Aksi mereka tanpa long march. Tidak pake yel. Namun, bobotnya luar biasa. Tentang pangan. Singkat kata: swasembada pangan harus ditegakkan.

Menarik. Yang koinsiden dari segi waktu, ternyata nyambung juga dari segi isi. Pertama, kedua aksi itu omong tentang makan. Yang pertama tentang makan uang, yang kedua tentang makan benaran. Yang pertama tentang makan karena kerakusas, yang kedua tentang makan karena kebutuhan. Kedua, dua-duanya omong tentang keadilan. Yang pertama tentang keadilan hukum, yang kedua tentang keadilan sosial. Bedanya?

Pengertian keadilan sosial jauh lebih luas ketimbang keadilan hukum. Keadilan hukum, de facto, sekadar bicara tentang tegaknya peraturan perundang-undangan. Ini kian terasa dalam peradilan modern yang sarat dengan beban formalitas, prosedur, birokrasi, dan metodologi ketat. Dalam banyak kasus, keadilan hukum belum tentu adil.

Satu contoh. Menurut hukum, setiap orang sama. Sama di depan hukum (equality before the law). Setiap warga negara punya hak yang sama mendapat pelayanan listrik dengan harga yang sama. Maka, yang kaya, karena dia juga warga negara dan membayar dengan harga yang sama, berpeluang menikmati lebih banyak bahkan berlebihan. Dari segi hukum, ini adil. Dari segi sosial, belum tentu. Sebab, pemakaian berbihan oleh segelintir orang bisa mengakibatkan hilangnya akses bagi sebagian besar yang lain.

Berbeda dari keadilan hukum yang lebih menekankan hak individu, keadilan sosial berbicara tentang hak warga negara dalam sebuah negara. Keadilan sosial adalah keadaan di dalamnya kekayaan dan sumber daya negara didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat. Dalam konsep ini, terkandung pengertian bahwa pemerintah dibentuk oleh rakyat, untuk melayani kebutuhan seluruh rakyat. Karena itu, pemerintah yang tidak memenuhi kesejahteraan warga negaranya patut dianggap sebagai pemerintah yang gagal.

Kita ingin meletakkan Mubes Swasembada Pangan 2012 dalam perspektif ini. Perpektif keadilan sosial. Karena itu, pernyataan Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota saat mubes sangatlah tepat. “.... saya malu bila mendengar terjadi musibah kelaparan atau busung lapar di daerah ini.” Ini sebuah kredo. Kredo malu. Kredo ini harus jadi kredo pemerintah juga. Malu, kalau swasembada pangan cuma jadi “mubes”: mulut besar pemerintah.

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 12 Desember 2009

Tidak ada komentar: