RSUD Lewoleba Setor PAD Tertinggi
Oleh Frans Anggal
RSUD Lewoleba merupakan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang memberikan kontribusi terbesar bagi pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Lembata. Tahun 2009, RSUD Lewoleba setor Rp1,9 miliar. SKPD ‘orang sakit’ ini kalahkan 32 SKPD ‘orang sehat’ dalam hal menggemukkan pundi-pundi daerah.
“Di satu sisi kita senang karena PAD dari RSUD tingggi. Namun di lain sisi oronis, di mana sumbangan terbesar untuk PAD Lembata justru dari orang sakit.” Begitu kata anggota DPRD Lembata Servas Ladoangin dalam rapat pembahasan anggaran APBD 2010 bersama RSUD Lembata, Sabtu 5 Desember 2009, sebagaimana diwartakan Flores Pos Senin 7 Desember.
Senang, tapi ironis. Ungkapan Servas Ladoangin ini tepat. Tidak hanya untuk Lembata. Daerah lain juga. Banyak daerah menikmati “kesenangan dalam ironi” ini. Dan, tidak berusaha mengakhiri “ironi dalam kesenangan” ini. Eksekutif, legislatif, sama saja. Mereka sadar ini “ironi”, tapi “senang” meneruskannya. Demi PAD, semua cara dihalalkan. Yang ironis sekalipun.
Ironis, orang sakit jadi sumber pendapatan daerah. Ironi ini berawal dari mulainya otonomi daerah. Daerah berlomba-lomba meningkatkan PAD dari berbagai sektor. Sektor kesehatan pun jadi objek empuk. Banyak daerah menetapkan target tinggi untuk sektor ini, mulai dari rumah sakit hingga puskesmas. Maka, rumah sakit mukut meningkatkan pendapatannya. Upaya paling mudah adalah menaikkan tarif pelayanan. Yang kasihan, pasien.
Padahal, sebagian besar sumber pembiayaan RSUD didrop oleh pemerintah pusat. Ada dana tugas pembantuan (TP), dana alokasi khusus (DAK), dana dekonsentrasi, bahkan dana alokasi umum (DAU). Apakah rasional dan adil pemerintah daerah menagih ke RSUD pengembalian biaya investasi itu demi menggemukkan pundi-pundi daerah, sementara biaya investasi itu subsidi pemerintah pusat ke daerah? Apakah rasional, adil, dan manusiawi pemerintah daerah membebankan pasien melalui RSUD untuk mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan pemerintah pusat itu?
Meski atas nama dan demi PAD, cara-cara ini tidak dapat dibenarkan. Konstitusi Kesehatan Dunia (WHO), UUD 1945 Pasal 28 H, UU 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menetapkan: kesehatan adalah hak fundamental setiap warga. UU 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada bagian awal konsideransnya menegaskan: pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam UUD 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
Itu berarti, setiap individu berhak memperoleh perlindungan atas kesehatan. Negara bertanggung jawab mengatur agar hak hidup sehat setiap individu itu terjamin, terutama yang miskin dan tidak mampu. Karena itu, semestinya biaya pelayanan kesehatan manjadi kewajiban pemerintah.
Dengan dasar itu maka, pertama, tidaklah manusiawi jika orang sakit dijadikan sumber PAD. Kedua, tidaklah rasional jika pendapatan rumah sakit digunakan untuk membiayai SKPD lain. Ketiga, tidaklah adil jika dari PAD yang disetor oleh rumah sakit, hanya sebagian kecil yang kembali lagi ke rumah sakit.
Yang menyedihkan, meski tidak manusiawi, tidak rasional, dan tidak adil, cara-cara ini tetap dipertahankan. Kenapa? Meminjam ungkapan anggota DPRD Lembata Servas Ladoangin, meski “ironis” toh bikin “senang”. Senangnya, PAD naik. Oronisnya, justru oleh orang sakit. Ironi ini disadari oleh DPRD. Tapi, ini juga menyedihkan: mereka tidak bikin apa-apa. Mereka biarkan ini berlangsung terus entah sampai kapan. Ironi koq mereka biarkan!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 10 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar