Tindak Kekerasan di Manggarai
Oleh Frans Anggal
Warga Desa Bulan dan Wangkung, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, mengawali 2010 dengan tindak kekerasan. Mulanya pekelahian antar-pemuda kedua desa. Ujungnya perusakan rumah seorang warga Desa Bulan. Rumah itu diduga sebagai kediaman salah seorang pemuda yang terlibat pekelahian. Demikian laporan Flores Pos Senin 4 Januari 2010.
Rumah jadi sasaran. Hampir selalu begitu pada banyak amuk massa. Seolah-olah berlaku ‘hukum’: kau tak kudapat, rumahmu kusikat. Aneh. Yang bermasalah manusia, yang jadi sasaran koq rumah. Kenapa? Psikologi punya jawaban. Boleh jadi ini semacam pelampiasan rasa agresi kepada sasaran pengganti karena sasaran utama tidak ditemukan.
Rasa agresi itu semacam ketegangan. Ketegangan harus dilepaskan. Kalau tidak, ia berbalik ke diri orang itu sendiri dan tertanam dalam sistem ototnya. Risikonya, orang itu bisa stres, pingsan, dll. Maka, kalau sasaran utama tidak ditemukan, diperlukan sasaran pengganti. Dalam konflik warga Desa Bulan dan Wangkung, sasaran pengganti itu rumah si pemuda. Pemudanya lolos, rumahnya dirusakkan.
Secara psikologis, mengalihkan sasaran, bisa dimengerti. Malah perlu sebagai cara melepaskan ketegangan. Yang sering jadi masalah, sasaran pengganti itu tidak pas. Asal habok saja. Maka, dampaknya sering lebih besar daripada persoalan pokoknya. Kalau pelampiasan kemarahan itu tindak pidana, urusannya akan panjang. Tidak jarang berujung dengan penjara.
Dalam melampiaskan kemarahan, ada baiknya kita belajar dari para demonstran. Ketika marah pada presiden, mereka tidak menjadikan rumah presiden sasaran pengganti. Mereka bikin orang-orangan pengganti presiden, lalu orang-orangan itu mereka teriaki, mereka injak, mereka bakar, dst. Rasa agresi mereka tersalurkan. Dampak hukumnya kurang bahkan tidak ada, dibandingkan kalau mereka menyerbu kediaman presien dan merusaknya seperti dilakukan warga Desa Wangkung.
Ada perbedaan sikon, tentu, yang membuat aksi warga Desa Wangkung tidak mirip aksi para demonstran. Kendati demikian, pertanyaan kita tidak berhenti. Kenapa, hampir selalu, rumah yang jadi sasaran pengganti? Ini mungkin tidak bisa dijawab oleh psikologi. Coba kita serahkan ke ilmu lain: fenomenologi.
O.F.Bollnow, yang meneliti dan menulis buku tentang manusia dan ruang (1963) memberikan analisis fenomenologis tentang permukiman dan perumahan. Rumah atau tempat kediaman adalah pusat. Sejak bumi tidak lagi jadi pusat universum dan tidak ada negara yang bisa menganggap diri sebagai pusat dunia, tinggal hanya satu pusat dalam dunia luas, yaitu rumah.
Rumah ialah unsur yang memberi kemungkinan untuk dinamika dasar dari eksistensi manusia, yaitu pergi dan pulang. Pergi artinya masuk ke hal lain atau asing. Pulang artinya berada kembali dalam hal yang dialami sebagai milik kita sendiri (M.A.W. Brouwer, 1983). Milik di sini ialah tempat-diam. Bertempat-diam tidak terjadi otomatis. Mempunyai rumah belum tentu berarti mempunyai pusat yang menarik saat kita pulang. A house is not a home. Maka, manusia harus belajar jadikan rumah (house) sebagai habitat (home). Yaitu: tempat kita bisa berakar, ada perlindungan dan keamanan, yang membuat kita betah (at home).
Dari sisi tilik fenomenologis ini, merusak rumah sama dengan mencerabut seseorang dari tempatnya berakar. Demikian pula, menjadikan rumah sasaran pengganti pelampian kemarahan merupakan tindakan biadab. Para pelaku perusakan harus ditindak tegas.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 5 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar