Masukan Forum Dosen STFK Ledalero
Oleh Frans Anggal
Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng akan ditahbiskan 14 April 2010. Forum dosen STFK Ledalero berikan masukan. Berupa surat, ditujukan kepada Administrator Keuskupan Ruteng dan Mgr Hubertus Leteng. Sebagaimana diwartakan Flores Pos Senin 11 Januari 2010, forum ini anjurkan agar perayaan tahbisan lebih bercorak liturgis dan sesederhana mungkin.
Mengapa sederhana? Menurut forum, tahbisan uskup adalah perayaan umat juga. Dibuat oleh umat berdasarkan keberadaan umat. Karena itu, panitianya perangkat pastoral dan dewan umat, bukan pemerintah atau pejabat pemerintah. Perayaan umat juga mengandung pengertian: dibiayai umat. Maka, besar kecilnya perayaan bergantung pada kemampuan umat, bukan pada kemampuan pemerintah atau pejabat pemerintah.
Kalau berdasarkan kemampuan umat, sudah sepatutnya perayaan itu sederhana. Mayoritas umat masih miskin. Sederhana tidak berarti tidak meriah. Meriah bisa, tanpa harus mewah. Meriah dalam kesederhanaan. Sederhana dalam kemeriahan. Kenapa tidak.
Bila setiap paroki bawa makanannya sendiri untuk disantap bersama pada resepsi syukuran, sudah pasti itu meriah tanpa harus mewah. Tahun 1980-an, Paroki Nita di Kabupaten Sikka di bawah kegembalaan Pater Tarsi Djuang Udjan SVD pernah lakukan cara begini saat pemberkatan gereja baru mereka. Paroki Onekore, Ende, tahun 2009, juga di bawah kegembalaan Pater Tarsi, juga pake cara yang sama saat rayakan emas paroki. Dalam kesederhanaan, perayaan itu bisa khidmat dan meriah.
Cara seperti ini cara tepat menunjukkan perayaan oleh umat berdasarkan kemampuan umat. Dan sesungguhnya, ini praksis Yesus sendiri. Bahwa itu bisa timbulkan ketidakenakan pada diri pejabat pemerintah, Injil sudah punya kisahnya. Ketika Yesus duduk makan di rumah Lewi seorang pemungut cukai, para pemimpin bangsa yakni orang-orang Farisi terperangah dan mengeluh kepada para murid Yesus. ”Mengapa Gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” (Mrk 2:15).
Santo Paulus ’menjawab’ gugatan ini dengan tepat. Ekaristi merupakan panggilan kepada kesederajatan dan persekutuan, menjembatani perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi serta menemukan kesatuan kita sebagai tubuh Kristus (1 Kor 11-13.).
Demi nilai tersebut, panitia tahbisan uskup Ruteng perlu bersaksi. Meskipun, itu bisa timbulkan ketidakenakan pada diri para pejabat pemerintah. Termasuk soal tempat tahbisan. Tempat yang tepat adalah halaman Katedral, bukan lapangan Motang Rua. Lapangan Motang Rua itu diapiti kantor bupati (selatan), rujab bupati (timur), mapolres (barat), pertokoan (utara). Dengan kata lain, ’dikepung’ oleh simbol-simbol kekuasan politik dan ekonomi.
Panitia tahbisan perlu peka dengan hal-hal begini. Kepekaan perlu dipertajam mengingat Manggarai dan Mabar kini sedang ramai dengan isu pilkada dan pertarungan kandidat. Hal biasa bisa dibaca dan dimanipulasi secara luar biasa. Dan ini bisa rugikan Gereja Keuskupan Ruteng ke depan.
Kita harapkan tahbisan uskup jadi titik star peneguhan jatidiri Gereja Keuskupan Ruteng. Gereja yang mengemban tugas kenabian. Tugas kritik profetik. Kenapa? Seperti diingatkan forum dosen Ledalero, sering upacara penahbisan uskup di Flores dibuat dalam kerja sama dengan pemerintah demi kemudahan dalam pengorganisasian dan pembiayaan. Dampaknya? Sebagai bagian dari masyarakat sipil, gereja akan sulit menjalankan fungsi kontrol. Jasa pemerintah ternyata bukan gelang emas di tangan gereja, tapi borgol!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 12 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar