Kapal Multifungsi Pemkab Flotim
Oleh Frans Anggal
Ada dua peristiwa menarik di Flotim, dalam sepekan. Pertama: Rabu, 20 Januari 2010, di Larantuka, Felix Fernandez bikin jumpa pers. Mantan bupati 2000-2005 ini nyatakan siap maju dalam pilkada Flotim 2010 (Flores Pos, Jumat 22 Januari 2010). Kedua: Jumat, 22 Januari 2010, di Larantuka, di kolam labuh Pelabuhan Larantuka, kapal multifungsi Siti Nirmala tenggelam ke dasar laut (Flores Pos, Sabtu 23 Januari 2010).
Dua peristiwa ini menarik. Pertama, terjadinya hanya dalam sepekan. Jarak waktunya hanya dua hari. Kedua, kata yang menandai dua peristiwa ini antonim: muncul x tenggelam. Rabu-nya Felix Fernandez ’muncul’ dalam jumpa pers. Jumat-nya Siti Nirmala ’tenggelam’ dalam insiden. Ketiga, Felix Fernandez dan Siti Nirmala memang erat terkait. Siti Nirmala dibeli saat Bupati Felix Fernandez dan Wabup John Payong Beda pimpin Flotim. Keempat, pembelian itu sendiri bermasalah.
Nun kala itu, masyarakat yang tergabung dalam Forum Reformasi Flores Timur di Larantuka menduga kuat, pembelian Siti Nirmala bersama satu kapal lainnya, KFC Andhika Mitra Express, sarat KKN. Ditengarai, pembelian dua kapal ini tidak prosedural. Pembeliannya tidak melalui tender. Dilakukan sebelum alokasi dananya termuat dalam APBD 2001. Ditengarai pula, harganya digelembungkan.
Siti Nirmala dibeli dengan harga lebih mahal. Kalau Andhila Mitra Express ‘cuma’ Rp3,479 miliar, Siti Nirmala Rp6 miliar. Hasilnya? Ada! Dan jelas! Yaitu: rugi! Khusus Siti Nirmala, tujuan pembeliannya agung nan mulia. Bantu pemerintah lakukan tugas-tugas antar-pulau di kabupaten kepulauan itu. Dalam perjalanan, Siti Nirmala bukannya membantu, tapi membebankan. Biaya operasionalnya terlalu tinggi. Ditambah rusak sana sini, akhirnya diistirahatkan.
Pengganti Felix Fernandez dan John Payong Beda , yaitu Simon Hayon dan Yoseph ‘Yosni’ Laga Doni Herin tampak sangat ‘alergi’ dengan Siti Nirmala. Nasib Siti Nirmala pun tidak jelas selama hampir lima tahun kepemimpinan mereka. Kasihan si Siti ini: dipake, tidak. Dibuang, tidak. Ia hanya ‘dipelihara’. Namanya pelihara, pasti ada ongkosnya. Maka, dana pemeliharaan keluar terus, dari pundi-pundi daerah.
Dengan hanya ‘dipelihara’ seperti itu, kita harus jujur katakan: Simon-Yosni memang tidak ‘menelantarkan’ Siti Nirmala, tapi sangat jelas ‘memubazirkan’-nya. Uang rakyat keluar terus atas nama dana pemeliharaan. Tapi, keluarnya untuk sesuatu yang tidak datangan satu pun nilai tambah. Kenapa tidak dijual saja atau disewapakaikan ke pihak lain?
Rencana jual ada, kata pemkab. Sudah disetujui DPRD. Calon pembelinya ada. Namun, sebatas ‘akan’. Selain menawar terlalu rendah, batang hidung mereka tidak muncul-muncul di Larantuka. Maka, seperti itulah: selama hampir lima tahun, Siti Nirmala hanya jadi penghias Pelabuan Larantuka. Dengan hanya ‘dipelihara’, ia tidak ‘diterlantarkan’, tapi sudah pasti ‘dimubazirkan’.
Koq bisa ya selama lima tahun tetap begitu? Kalau cuma tunggu di tempat, ya susah. Semestinya pemkab lebih proaktif. Tapi, itu tidak terjadi. Ada apa? Patut dapat diduga, semua ini bukan tanpa kesengajaan.
Boleh jadi, Simon-Yosni sengaja korbankan kalkulasi ekonomi demi kalkulasi politik. Siti Nirmala tidak dipake karena ia identik dengan Felix Fernandez. Ia juga tidak dijual karena dengan demikian ia ‘hilang’ dari Flotim. Ia perlu tetap ‘ada’, sebagai simbol ‘kegagalan’ Felix Fernandez. Siti Nirmala mengikat memori kolektif masyarakat akan sebuah masa lalu penuh skandal.
Lalu, ketika pilkada datang lagi, dan Felix Fernandez ‘muncul’ kembali, simbol itu (tiba-tiba) ‘tenggelam’. Apa ‘arti’ semua ini?
“Bentara” FLORES POS, Senin 25 Januari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar