29 Juli 2011

Tidak Adil di RSUD Ruteng

Pemotongan Tunjangan Risiko Petugas

Frans Anggal

Dua hari pelayanan di RSUD Ruteng tidak normal. Karyawan mogok. Mereka tetap datang ke RSUD, tapi tidak masuk ruang kerja. Mereka mempersoalkan diskriminasi dalam pemotongan tunjangan risiko petugas (Flores Pos Kamis 28 Juli 2011).

Mulai Juli 2011, RSUD Ruteng berlakukan aturan baru. Yang terlambat ikut apel pagi dikenai pemotongan 2 persen pada tunjangan risiko petugas. Yang pulang sebelum jam kerja selesai dikenai pemotongan 4 persen.

Karyawan tidak persoalkan ini. Yang mereka persoalkan pelaksanaannya. "Pemotongan hanya untuk karyawan seperti perawat, bidan, pegawai administrasi, dll. Sedangkan (untuk) para dokter tidak berlaku. Ada dokter yang sering terlambat, dan ada yang jarang sekali ikut apel pagi, tetapi tunjangannya tidak dipotong. Ini diskriminasi," kata Maria, seorang karyawan.

Diskriminasi. Itu bentuk ketidakadilan. Tidak adanya persamaam di depan aturan. Di RSUD Ruteng, terkesan pemotongan tunjangan risiko petugas hanya diberlakukan bagi 'karyawan kecil': perawat, bidan, pegawai administrasi. Sedangkan bagi 'karyawan besar' tidak: dokter, apalagi dokter spesialis. Ada semacam privilise atau hak istimewa bagi para 'karyawan besar'.

Dalam setiap organisasi kerja, privilise itu hal biasa. Tapi tidak biasa pada semua hal. Kalau 'karyawan besar' mendapat fasilitas rumah dinas, mobil dinas, motor dinas, itu biasa. Itu privilise yang berterima. Tidak demikian halnya dalam kerja: 'karyawan besar' atau jajaran pimpinan boleh terlambat masuk, boleh pulang lebih dahulu. Justru sebaliknyalah yang dituntut. Karena mendapat fasilitas lebih, mereka harus menunjukkan teladan lebih pula.

Tampaknya, itu tidak terjadi di RSUD Ruteng. Terkesan, dokter boleh sering terlambat. Boleh tidak ikut apel pagi. Boleh pulang sebelum waktu. Akhir bulan? Tunjangannya utuh. Tidak dipotong sedikit pun. Padahal, aturan mengharuskan pemotongan. Sebab, aturan itu, katanya, berlaku umum. Berlaku untuk semua yang bekerja di RSUD Ruteng.

Ada dokter yang malu hati gara-gara kasus ini. Dia tahu dia telah langgar aturan, tapi akhir bulan tunjangannya tidak dipotong. Malu di sini bukan hanya reaksi psikologis. Tapi juga dan terutama reaksi etis. Malu karena perlakuan ini tidak adil. Ada standar ganda. Pelanggarannya sama, namun hukumannya berbeda. Bahkan, dalam kasus di atas, hukumannya tidak ada untuk ‘karyawan besar’.

Hal lain: hukuman (punishment) tidak diimbangi dengan penghargaan (reward). Kalau bagi yang terlambat masuk kerja ada sanksi, lalu bagaimana bagi yang terlambat pulang kerja? Apakah kelebihan jam kerja mereka dihargai? Di RSUD Ruteng, itu tidak terjadi. Ini juga ketidakadilan. Maka bergandalah jadinya. Sudah tidak mengimbangi hukuman dengan penghargaan, penerapan hukumannya pun tebang pilih.

Perlu segera dicek. Pertama, apa dasar hukum atau peraturan yang digunakan RSUD dalam menetapkan sanksi pemotongan tunjangan risiko petugas? Peraturan pemerintah mengenal berbagai bentuk dan tingkatan sanksi. Pesan kita: jangan bikin tafsiran sesuka hati!

Kedua, ke mana uang hasil pemotongan itu diposkan? Peruntukannya harus jelas, tegas, transparan, dan dapat dipertanggunjawabkan secara hukum dan moral. Pesan kita: jangan gali lubang untuk diri sendiri!

”Bentara” FLORES POS, Jumat 29 Juli 2011

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Harus Berlaku Adil, Perawat, Bidan, Dokter Itu harus bekerjasama dan membuat peraturan itu tidak boleh pili kasi, bagimana kalau perawat bidan mogok bekerja.apakah dokter bisa bekerja sendiri?