Sengketa Tapal Batas Matim dan Ngada
Oleh Frans Anggal
Tokoh masyarakat Manggarai Timur (Matim) kecewa. Pertemuan mereka dengan Gubernur NTT Frans Lebu Raya di Kupang, Senin 18 Juli 2011, tidak membawa hasil. Sikap gubernur terhadap masalah tapal batas Matim dan Ngada tidak jelas dan tidak tegas. "Kami kecewa," kataThomas Loma (Flores Pos Rabu 20 Juli 2011)
Para tokoh masyarakat ini merupakan delegasi resmi, hasil koordinasi bersama pemerintah daerah, pimpinan DPRD, dan tokoh masyarakat se-Manggarai Raya, yang terdiri dari Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur.
Dalam pertemuan dengan gubernur, mereka angkat dua hal. Pertama, desakan agar gubernur segera tegaskan tapal batas Matim-Ngada. Kedua, laporan tentang provokasi dan anarkisme di perbatasan: perusakan dan pemblokiran jalan, perusakan pilar, dll.
Ada tiga poin jawaban gubernur. (1) Ia akan memperjuangkan secepatnya penyelesaian batas. Ia sudah turunkan tim independen ke perbatasan. Tinggal tunggu hasilnya. (2) Ia yakin persoalan ini dapat diselesaikan dalam semangat persaudaraan. Maka, tidak perlu dibawa ke mendagri. (3) Ia mengpresiasi sikap masyarakat Matim yang tetap menjaga suasana aman di perbatasan.
Gubernur akan perjuangkan secepatnya penyelesaian batas? Tidak ada presedennya. Bahkan ketika suasana di tapal batas memanas. Saat kehadirannya dibutuhkan, ia absen. Ditunggu-tunggu, tidak datang-datang. Masyarakatlah yang mendatanginya di Kupang. Dia tunggu di tempat.
Seakan mewakili dirinya, ia turunkan tim independen ke perbatasan. Kenapa tim independen? Kenapa bukan tim gubernur dipimpin gubernur? Penamaan tim ini janggal. Mengesankan gubernur tidak mampu bersikap independen. Pembentukannya pun memperpanjang absensi gubernur di tapal batas. Dengan adanya tim ini, gubernur merasa tidak perlu ke lokasi sengketa. Dia tunggu di tempat.
Dengan begitu, apakah mungkin persoalan tapal batas dapat diselesaikan dalam semangat persaudaraan? Sehingga tidak perlu dibawa ke mendagri? Tidak mungkin! Bagaimana bisa semangat persaudaraan terwujud kalau pihak yang paling berwenang dan bertanggung jawab dalam menyelesaikan sengketa itu justru tidak hadir.
Dalam kasus ini, gubernur tidak bisa diandalkan. Masalah ini perlu segera dibawa ke mendagri. Biarkan tim mendagri turun ke wilayah perbatasan. Kehadiran seperti ini diperlukan. Selain untuk melengkapi pemahaman masalah, juga untuk mencegah dan mengatasi eskalasi konflik. Ini yang tidak dilakukan gubernur. Provokasi dan anarkisme dibiarkan. Seolah-olah semua itu bukan perbuatan melawan hukum.
Di hadapan tokoh masyarakat Matim di Kupang, gubernur mengapresiasi sikap masyarakat Matim yang tetap menjaga suasana aman di perbatasan. Lalu, apa sikapnya terhadap masyarakat yang melakukan provokasi dan anarki? Ini yang tidak jelas. Jangan-jangan provokasi dan anarki itu dianggap sebagai dongeng belaka. Kalau benar begitu, harap maklum. Gubernur tidak pernah ke lokasi koq.
Menjadi pertanyaan kita: kenapa gubernur tidak ke sana? Alasan rasionalnya hampir tidak ada. Maka kita patut dapat menduga alasan yang lain. Dia tidak mampu dan tidak berani selesaikan masalah. Namun ini ditutup-tutupi. Caranya, dengan menunda-nunda penyelesaian masalah, membentuk tim independen, dan entah apa lagi. Kalau tetap tunggu gubernur, ya, sulit. Kasus ini perlu segera dibawa ke mendagri.
”Bentara” FLORES POS, Kamis 21 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar